Peningkatan Kemampuan Berbahasa Anak Usia Pra Sekolah Melalui Prinsip "Bermain Sambil Belajar"

Kamis, 22 Juli 2010




Abstrak : Tinjauan Nasikun dalam Siswatiningsih (1993) , menyebutkan bahwa dengan adanya arus modernisasi maka kekerabatan dalam keluarga berkurang pula. Untuk itu perlu dikembangkan institusi pengganti keluarga, tempat penitipan anak sebagai pengganti orang tua sementara dapat mendidik kecerdasan, keterampilan, dan ketaqwaan kepada anak balita yang dititipkan. Fuad Hasan (1998) juga mengatakan bahwa jenis layanan penitipan anak memang sangat bermanfaat bagi perkembangan anak, dan sebagai wahana pedagogik yang dapat menunjang perkembangan anak pada usia pra-sekolah. Bermain merupakan bagian penting dalam pendidikan anak menuju perkembangan normal sesuai dengan kodrat anak. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut maka tempat penitipan anak dapat digunakan sebagai wahana pembelajaran bahasa khususnya dalam peningkatan kosakata anak melalui prinsip-prinsip bermain sambil belajar. Perkembangan bahasa berlangsung sejak bayi hingga akhir hayat. Bayi mulai memperoleh bahasa ketika berumur kurang satu tahun, sebelum dapat mengucapkan suatu kata. Jadi, ‘bermain sambil belajar’ merupakan salah satu cara yang terbaik untuk mengoptimalkan kemampuan anak, termasuk kemampuan berbahasa.
Kata Kunci : Perkembangan Bahasa, Pendidikan Pra-Sekolah, Kegiatan Bermain untuk Anak Pra-Sekolah


I.LATAR BELAKANG

Arus globalisasi menjadikan kehidupan manusia menjadi begitu terbuka, persaingan ekonomi antar bangsa semakin ketat. Untuk dapat ikut dalam persaingan itu diperlukan sumber daya manusia yang bermutu tinggi yang harus dipersiapkan melalui pembinaan pendidikan. Pembinaan pendidikan sejak usia dini merupakan upaya strategis bagi pengembangan sumberdaya manusia. Soejiarto (1996) mengatakan memulai pembinaan pendidikan pada usia taman kanak-kanak dipandang terlambat,pembinaan pendidikan harus dimulai sejak usia 0 tahun. Masa-masa semenjak kelahiran hingga tiga tahun merupakan masa yang spesial dalam kehidupan anak.

Di Indonesia sesungguhnya telah terdapat beragai upaya untuk menangani pembinaan anak sejak usia pra-sekolah namun jumlah dan jangkauannya masih sangat terbatas. Taman kanak-kanak hanya menjangkau kurang dari 20% anak usia taman kanak-kanak. Sedangkan penitipan anak dan kelompok bermain belum menjangkau 1% anak usia di bawah 5 tahun (Soedjiono, 1996). Kenyataan ini cukup memprihatinkan karena kita ketahui bahwa semakin banyak perempuan yang bekerja di luar rumah. Masalah yang dihadapi para ibu yang mempunyai anak balita adalah memperoleh pengasuh pengganti yang dapat dipercaya untuk mengasuh, merawat, dan mendidik anaknya.

Kenyataan ini sesuai dengan tinjauan Nasikun dalam Siswatiningsih (1993) , menyebutkan bahwa dengan adanya arus modernisasi maka kekerabatan dalam keluarga berkurang pula. Untuk itu perlu dikembangkan institusi pengganti keluarga, tempat penitipan anak sebagai pengganti orang tua sementara dapat mendidik kecerdasan, keterampilan, dan ketaqwaan kepada anak balita yang dititipkan. Fuad Hasan (1998) juga mengatakan bahwa jenis layanan penitipan anak memang sangat bermanfaat bagi perkembangan anak, dan sebagai wahana pedagogik yang dapat menunjang perkembangan anak pada usia pra-sekolah.

Berdasarkan uraian di atas nampak pentingnya pengembangan tempat penitipan anak dalam usaha membantu orang tua mengasuh anak, sekaligus mendidik kemampuan anak. Namun perlu diakui bahwa masih banyak tempat penitipan anak yang belum dapat mengganti peran ibu untuk mengasuh, mendidik, dan membimbing perkembangan anak.
Fuad Hasan (1998) menyampaikan bahwa lembaga-lembaga pendidikan anak usia pra-sekolah termasuk tempat penitipan anak terkadang sengaja – tidak – sengaja menempatkan anak-anak asuhanya dalam situasu “pemaksaan” anak untuk melibatkan ke dalam proses belajar sedini mungkin. Dengan demikian tempat penitipan anak berubah menjadi lembaga pendidikan yang melancarkan kegiatan skolastik dan bersifat prestatif yang berakibat menyusutnya peluang anak untuk melibatkan diri dalam kegiatan bermain yang dinikmatinya sebagai suasana rekreatif. Sedangkan usia pra-sekolah sangat membutuhkan keleluasaan untuk bermain dan pengembangan berbagai fungsi psikologik, sambil bermain anak dapat belajar.

Bermain merupakan bagian penting dalam pendidikan anak menuju perkembangan normal sesuai dengan kodrat anak. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut maka tempat penitipan anak dapat digunakan sebagai wahana pembelajaran bahasa khususnya dalam peningkatan kosakata anak melalui prinsip-prinsip bermain sambil belajar.


II.PERKEMBANGAN BAHASA ANAK USIA PRA-SEKOLAH

Perkembangan bahasa berlangsung sejak bayi hingga akhir hayat. Bayi mulai memperoleh bahasa ketika berumur kurang satu tahun, sebelum dapat mengucapkan suatu kata. Pada tahun pertama sejak kelahiran bayi mulai menoceh, bermain dengan bunyi seperti halnya bermain dengan jari-jari tangan dan jari-jari kakinya. Menginjak umur 6 bulan, bayi mulai mengerti makna dari bunyi-bunyi yang didengarnya. Pada usia sekitar 9 bulan bayi mulai menggunakan satu kata atau bunyi atau beberapa kombinasi bunyi untuk mengekspresikan idenya.

Pada umur 1 hingga 2 tahun bahasa anak berkembang secara cepat. Anak mulai meniru orang dewasa di sekitarnya, mencontoh intonasi dan gesture pada saat orang dewasa menggunakan bahasa. Anak mulai mengkombinasikan dua kata. Anak mulai dapat mengucapkan “Ma, mimik” yang berarti “Mama saya minta minum”. Pada tahap dua kata ini anak akan mulai mengenal berbagai makna kata tetapi belum dapat menggunakan bentuk bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin dan waktu terjadinya peristiwa.
Pada akhir umur ketiga, anak-anak sudah dapat menggunakan sekitar 1000 kata dan dapat mengerti lebih dari itu. Beberapa kata digunakan untuk menjelaskan satu objek atau ide. Pada umur 3 hingga 4 tahun anak-anak menggunakan kombinasi kalimat yang lebih kompleks yang terdiri dari kata ganti, kata sifat, kata keterangan, kata ganti kepunyaan.

Pada umur 4 hingga 5 tahun anak-anak telah mendapatkan hampir seluruh elemen bahasa orang dewasa. Kalimat-kalimatnya mencapai sekitar 3000 kata. Pada umur ini anak-anak mulai bercerita tentang kehidupannya, yang dikerjakan dan cara mengerjakannya, seolah-olah antara kata dan perbuatan menjadi satu kesatuan. Pada umur 5 sampai 6 tahun bahasa anak-anak dan orang dewasa telah sama. Hampir seluruh aturan gramatikal telah dikuasai, dan pola bahasanya telah kompleks. Anak-anak dapat membuat pertanyaan, pertanyaan negatif, kalimat majemuk, dan berbagai bentuk kalimat.


III.TEORI PERKEMBANGAN DAN PEMEROLEHAN BAHASA

1.Teori Behavioristik

Salah satu tokoh yang sangat terkenal dalam aliran Behavioristik adalah B.F.Skinner. Menurut para behaviorist, respon yang lebih kompleks dipelajari melalui aproksimasi berkelanjutan. Menurut Skinner proses tersebut berlangsung sebagai berikut: respon apapun yang telah mendekati perilaku standar dari suatu komunitas maka respons tersebut diberi penguatan atau reinforcement. Ketika hal itu sering muncul mendekati perilaku standar maka terus diberi penguat. Dengan cara demikian penguasaan bentuk-bentuk verbal yang sangat kompleks dapat dicapai.

Orang dewasa sebagai pengguna bahasa memberikan model tentang perilaku bahasa yang standar. Sebagai contoh, jika orang dewasa mengatakan ‘saya minta minum’ kemudian ditirukan oleh anak ‘minta minum’, maka respon anak tersebut dapat diterima. Namun, secara bertahap orang dewasa akan mendorong agar anak dapat mengucapkannya secara lengkap apabila menghendaki minum. Kadang-kadang anak dapat mengucapkan bahasa secara lengkap seperti yang diucapkan orang dewasa. Dengan demikian, pada dasarnya bahasa adalah berdasarkan pada proses modeling, imitasi, praktik, dan reinforcement selektif.

2.Teori Genetik

Menurut teori ini, belajar bahasa lebih merupakan proses instingtif daripada proses imitasi. Semua anak dilahirkan dengan memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa. Menurut teori genetik, bahasa anak pada dasarnya telah terstuktur. Akibatnya, anak memproses tata bahasa di sekitarnya, membuat kaidah yang diuji, kemudian merevisi kaidah berdasarkan feedback yang diterima. Dengan cara ini pembicaraan anak secara perlahan akan mendekati pembicaraan orang dewasa.

3.Teori Sosiokultural

Teori sosio-kultural menekankan bahwa penguasaan pregmatik merupakan kenyataan yang interaktif. Para pengikut ini menekankan pentingnya lingkungan sosial di mana bahasa tersebut dibutuhan dan interaksi yang terjadi antara anak dan orang dewasa. Salah satu tokoh ini adalah Bruner. Menurutnya, bahasa dihadapi anak dalam interaksi yang benar-benar sangat teratur dengan ibu yang memiliki peran penting dalam mengatur kebahasaan yang dihadapi oleh sang anak. Pandangan ini kemudian melahirkan suatu teori interaksi antara ibu bayi dalam pemerolehan bahasa. Teori ini melihat bahwa penguasaan bahasa sebagai pelibatan ibu dan anak.


IV.PENDIDIKAN PRA-SEKOLAH

Dalam Undang-undang RI Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikamn Nasional, pasal 12 ayat (2) menyebutkan “selain jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diselenggarakan pendidikan pra-sekolah.” Pendidikan pra-sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk mengembangkan pribadi, pengetahuan, dan keterampilan yang melandasi pendidikan dasar serta mengembangkan pribadi, pengetahuan, dan keterampilan yang melandasai pendidikan dasar serta mengembangkan diri secara utuh sesuai dengan azas penidikan seumur hidup. Menurut the National Association for the aeducation dalam Soemiarti Patmonodewo (1995: 37) istilah “Pre school” adalah anak antara usia “toddler” (1-3 tahun) dan usia masuk TK. Biasanya antara usia 3 (tiga) sampai 5 (lima) tahun. Sementara pengertian “toddler” adalah anak yang mulai berjalan sendiri sampai usia tiga tahun.

Salah satu wadah yang paling tepat untuk memberikan pendidikan anak usia dini di tengah-tengah kesibukan kedua orang tua adalah tempat penitipan anak (TPA).

1.Hakikat Tempat Penitipan Anak dan Tujuannya

Lutfia (1992: 2) menjelaskan bahwa tempat penitipan anak adalah lembaga yang dibentuk untuk mengatasi kesenjangan proses asuhan anak karena pelaksanaan tugas pekerjaan orang tuanya. Di dalam tempat penitipan anak dilaksanakan aktivitas mendidik, menjaga, merawat dan membimbing anak.

Lebih lanjut Departemen Sosial RI menggariskan tempat penitipan anak sebagai lembaga sosial yang memberikan pelayanan kepada anak-anak balita yang dikhawatirkan akan mengalami hambatan dalam pertumbuhannya, karena ditinggalkan orang tua atau ibunya bekerja. Pelayanan ini diberikan dalam bentuk peningkatan gizi, pengembangan intelektual, emosional, dan sosial anak.

Dari beberapa pendapat di atas dapat dikemukakan hakikat tempat penitipan anak sebagai berikut:
a.Lembaga penyelenggaraan program pendidikan luar sekolah yang memberikan layanan berupa asuhan terhadap anak untuk mengembangkan intelektual, emosional, dan sosial anak.
b.Proses pengasuhan dilaksanakan untuk mengatasi kesenjangan dalam mengasuh anak, karena dalam waktu yang bersamaan orang tua harus melaksanakan tugas pekerjaannya.
c.Sebagai lembaga pelengkap asuhan anak, bukan pengganti asuhan orang tua.

Adapun tujuan tempat penitipan anak menurut Jaidi (1992: 6), sebagai berikut:
a.Membantu ibu-ibu untuk membantu ketenangan dan prestasi kerja yang optimal.
b.Menghindarkan anak dari kemungkinan terlantar pertumbuhan dan perkembangannya.
c.Menumbuhkan, meningkatkan dan memantapkan partisipasi masyarakat di mana penerimaan pelayanan berada.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan tempat penitipan anak adalah untuk membantu orang tua terutama dalam melaksanakan pendidikan bagi anak untuk melaksanakan pendidikan bagi anak untuk meletakkan dasar ke arah perkembangan yang wajar dan memberi kesempatan pada para orang tua agar dapat bekerja secara optimal.

2.Perananan dan Fungsi Tempat Penitipan Anak

Pramuwito (1997: 10) menjelaskan tempat penitipan anak sebagai lembaga kesejahteraan anak mempunyai mempunyai peranan sebagai berikut:
a.Pelayanan kesejahteraan anak.
b.Pusat informasi kesejahteraan sosial.
c.Pusat konsultasi dalam melaksanakan usaha kesejahteraan anak-anak di keluarga.

Sebagai tempat pelayanan sosial anak, tempat penitipan anak berfungsi membina kelangsungan hidup dan pertumbuhan anak serta memenuhi kebutuhan anak, baik kebutuhan fisik, mental, psikis, dan sosial.

Sebagai pusat informasi kesejahteraan anak, tempat penitipan anak berfungsi memberikan informasi-informasi tentang kondisi sosial anak baik yang menyangkut kebiasaan, sifat, ingkah laku, hubungan sosial anak, serta penanganan anak-anak yang bermasalah secara profesional.

Sebagai tempat konsultasi dalam melaksanakan usaha kesejahteraan anak, tempat penitipan anak berfungsi membantu memantapkan orang tua, agar dapat melaksanakan fungsi keluarga. Agar tempat penitipan anak dapat melaksanakan peran sesuai dengan fungsinya, maka sebaiknya tempat penitipan anak didukung oleh faktor-faktor sebagai berikut:
a.Sarana dan prasarana yang layak dimiliki.
b.Tenaga yang berkualitas.
c.Pelayanan yang profesional perencanaan, proses, metode.
d.Pengelolaan yang mantap / baik.


V.KEGIATAN BERMAIN UNTUK ANAK USIA PRA-SEKOLAH


1.Pengertian Bermain

Pengembangan kemampuan anak usia pra-sekolah dilakukan melalui kegiatan bermain, karena dunia anak adalah dunia bermain. Ahmadi (19991: 69) memberikan pengertian “Bermain adalah suatu perbuatan yang mengandung keasyikan dan dilakukan atas dasar kehendak diri sendiri, bebas tanpa paksaan dengan tujuan untuk memperoleh kesenangan pada waktu mengadakan kegiatan tersebut”. Buchori (1978: 118) juga memberikan batasan bermain, yaitu “gejala kodrati anak yang dapat diamati di mana ia hidup dengan latar belakang budaya apapun”. Selanjutnya Piaget yang dikutip oleh Hurlock (1985: 290) mengatakan “Play consist of responses repeated purely for functional pleasure.”.

Dari ketiga pendapat tersebut bermain dapat diartikan sebagai perbuatan yang mengandung keasyikan dan dilakukan atas kehendak sendiri secara alamiah, tanpa paksaan dengan tujuan untuk memperoleh kesenangan atau kepuasan pada waktu mengadakan kegiatan bermain.

2.Fungsi Bermain Bagi Anak

Bermain secara umum telah diakui sangat penting bagi kesejahteraan manusia, baik bagi orang dewasa, terlebih bagi anak-anak. Menurut Spencer dalam Monks (1992), bermain mempunyai fungsi menyalurkan sisa-sisa energi. Menurut Isaac dalam Cohen (1977) bermain mempunyai tiga fungsi mayor yaitu:
a.Mengarahkan pada penemuan, penalaran, dan pemikiran.
b.Sebagai jembatan dalam hubungan sosial.
c.Mengarahkan pada keseimbangan emosi.

Sedangkan Harfley dalam Moeslichatoen (1999) menyebutkan delapan fungsi bermain, yaitu:
a.Menirukan orang dewasa.
b.Dapat memerankan kehidupan nyata dengan cara yang sungguh dan bersemangat.
c.Untuk mengekspresikan hubungan dan pengalaman.
d.Untuk mengekspresikan kebutuhan dan pengalaman.
e.Membebaskan impuls-impuls yang tidak diterima.
f.Dapat membalikkan peran yang diterima.
g.Sebagai cermin pertumbuhan.
h.Untuk memecahkan problem dan bereksperimen.

Vygotsky (dalam Robin, 1983) yang banyak meneliti perkembangan bahasa menyebutkan bahwa permainan menimbulkan pengertian tentang mana objek dan mana tindakan, kedua pengertian ini berkembang sejalan dengan keterampilan penggunaan bahasa.

Piaget (dalam Rubin, 1983) terkenal dalam perkembangan kognitif menyatakan bahwa permainan mengembangkan intelektual anak, karena dalam bermain terjadi tambahan pengetahuan baru dari objek yang tidak terdapat di dalam struktur kognitifnya. Sarjono (1987) meyebutkan ada 6 fungsi yang dapat dikembangkan melalui bermain, yaitu mengembangkan fisiknya, panca inderanya, kemampuan berpikirnya, konsentrasinya, bahasanya, serta daya ingat dan kualitasnya secara keseluruhan.

Dalam kaitan antara bermain dan perkembangan anak, ada beberapa hal yang mempunyai peranan penting bagi perkembangan aspek-aspek anak, antaralain adalah bentuk-bentuk permainan, alat permainan, dan tutor yang membimbing bermain.

3.Peran Tutor dalam Membimbing Bermain Anak

Berkaitan dengan peran pembimbing bermain, Bjorkland (dalam Soemiarti, 1995: 89) menyatakan ada lima peranan tutor yang perlu dipenuhi, yaitu:

a.Sebagai Pengamat

Dalam tugasnya sebagai pengamat, tutor harus mengamati (1) interaksi anak dengan anak lain, serta interaksi anak dengan benda-benda, (2) para tutor harus mengamati lamanya waktu anak bertahan dalam suatu permainan, dan (3) mengamati apakah ada anak yang mengalami kesulitan dalam bermain dan bergaul dengan teman sebayanya.

b.Sebagai Elaborator

Apabila anak-anak sedang bermain sebagai dokter, tutor perlu menyediakan alat-alat yang biasanya dipergunakan oleh dokter dalam bentuk miniatur. Bahkan tutor dapat berpura-pura menjadi pasiennya. Dalam melakukan tugasa elaborasi, tutor dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang akan merangsang anak mengembangkan daya pikirnya melalui peran yang sedang dilakukannya sebagai dokter.

c.Sebagai Model

Tutor yang menghargai nilai bermain selalu akan berusaha menjadi model dalam kegiatan bermain anak. Sebagai contoh: (1) tutor selalu mencari kesempatan ikut duduk bersama anak yang sedang bermain balok, dan ikut menempatkan salah satu atau dua balok dalam susunan bangunan yang dibuat amak. (2) Tutor juga dapat bergabung dalam permainana drama. Tujuannya memberikan model perilaku yang bermanfaa tentang bagaimana memasuki suatu kelompok bermain, atau memberikan respon-respon yang dapat membantu agar permainan dapat berlanjut atau berlangsung lancar. (3) kadang-kadang tutor dapat memberikan model perilaku agar suatu episode permainan dimulai atau kembali pada alur yang sebenarnya apabila permainan itu dianggap menyimpang dari tujuan semula dan membawa efek negatif.

Contoh anak-anak yang memainkan peran-peran tertentu dari acara TV dapat memainkannya dengan saling mengajar dan saling menangkap tanpa tujuan yang jelas. Di sini tutor dapat mengajukan pertanyaan tentang tujuan dari peran-peran yang dibawakan anak-anak, serta mendemonsrasikan bagaimana peran itu dimainkan tanpa perlu berlari saling mengejar di dalam ruang.

d.Sebagai Evaluator

Tutor bertugas sebagai pengamat dan melakukan penilaian terhadap sejauh mana kegiatan bermain yang dilakukan anak-anak akan memenuhi kebutuhan masing-masing anak. Sebagai evaluator tutor bertigas mengenali apakah dalam kegiatan bermain, anak-anak mengembangkan aspek akademik, sosial, kecerdasan atau jasmaninya. Dalam melakukan evaluasi kegiatan belajar melalui bermain harus dikaitkan dengan materi, lingkungan dan kegiatan yang telah dirancang dalam tujuan kurikulum, dan apabila diperlukan dapat dirubah tatanannya.

e.Sebagai Perencana

Tutor harus merencanakan suatu pengalaman-pengalaman baru agar anak-anak terdorong untuk mengembangkan minat mereka. Misalnya, ada orang tua anak, pekerjaannya sebagai penjual sepatu, orang tua tersebut diminta datang untuk berbagi pengalaman dengan anak tentang apa saja yang dilakukan selama bekerja sebagai penjual sepatu. Pada suatu kegiatan belajar melalui bermain, tutor menata kelas seolah-olah toko sepatu, kursi-kursi dan tempat pembayaran. Murid-murid diajak menyebutkan bermacam bentuk sepatu dan mungkin menggambar sepatu mereka masing-masing, serta kegiatan sejenis lainnya.


VI.APLIKASI TERHADAP PEMBELAJARAN

Sesuai dengan teori behavioristik bahwa anak belajar bahasa melalui proses imitasi dengan bahasa orang lain. Pada usia dini, proses imitasi dilakukan di lingkungan terdekat yaitu keluarga. Akan tetapi, apabila kedua orang tuanya bekerja dan tidak memungkinkan merawat sendiri anaknya pada jam kerja, solusi terbaik adalah dengan menitipkan anak di tempat penitipan anak terdekat. Hal ini demi kelangsungan perkembangan fisik maupun psikisnya. Karena tempat penitipan anak merupakan lembaga resmi yang khusus menangani anak sekaligus mengasuh dan mendidiknya.

Anak yang dititipkan di tempat penitipan anak, proses imitasinya didapat dari pengasuh (tutor) dan teman sepermainannya. Dalam hal ini, pengasuh atau tutor dapat memberikan stimulasi kemampuan berbahasa melaui kegiatan “bermain sambil belajar”. Stimulasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kosakata. Dengan pola pendidikan “bermain sambil belajar”, anak akan merasa nyaman dan senang dalam memahami kosakata-kosakata baru sehingga anak tidak merasa tertekan atau merasakan suatu paksaan. Anak yang mempunyai perbendaharaan kosakata yang banyak akan mamapu berbahasa dengan baik dan lancar.

Vygostky yang dikutip oleh Fred Ebbeck (1998: 1) menyatakan bahwa bahasa dikuasai anak pertama kali secara kolaboratif bersama kaum dewasa, atau pasangan yang lebih kompeten. Kemudian diintelegensikan dan secara sadar digunakan sebagai alat berfikir dan alat kontrol. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan kemampuan berbahasa anak, tutor selaku ‘orang dewasa’ di tempat penitipan anak harus melakukan hal-hal di bawah ini:
1)Harus menjadi pendengar yang baik.
2)Biarkan anak melihat apa yang anda rasakan dengan cara mencocokkan apa yang anda lakukan dengan ekspresi wajah anda.
3)Biarkan anak melihat apa yang anda maksudkan dengan cara mencocokkan apa yang anda lakukan dengan apa yang anda katakan.
4)Beraktinglah ketika anak mengartikan percakapan anda.
5)Bantulah anak memahami keseluruhan komunikasi dengan mengaitkan apa yang anda katakan dengan situasi nyata (Fred Ebbeck, 1998: 1).

Hal tersebut di atas dapat dilakukan dengan bermain. Adapun alat-alat bermain yang sesuai dengan bentuk permainan menurut Atmodwirjo (1994/1995: 5) antara lain:
1)Perosotan, papan keseimbangan, alat memanjat, bersepeda untuk bentuk permainan di luar.
2)Boneka, topeng, dan benda-benda yang mempunyai fungsi serba macam untuk bentuk bermain imajinatif, dan bentuk bermain berpura-pura.
3)Alat masak, rumah-rumahan dan perabotannya, alat-alat untuk makan dan minum, dan sebagainya.
4)Balok-balok untuk bentuk bermain konstruktif.
5)Air, pasir untuk bentuk bermain dengan material alam.
6)Ungkapan kreatif untuk bentuk bermain seni.
Beberapa alat permainan di atas dapat diaplikasikan pada pembelajaran berbahasa anak pra-sekolah. Misalnya:
 Bersepeda (untuk anak usia 4-5 tahun dengan sepeda roda tiga)
Tutor mengajak anak bermain sepeda di luar rumah, sambil melihat dan memperhatikan berbagai benda atau pemandangan (objek baru) yang dilihatnya sambil menyebutkan namanya.
 Alat masak dan rumah-rumahan beserta perabotnya
Tutor bermain masak-masakan dan rumah-rumahan bersama anak-anak. Tutor dapat membantu mengambilkan peralatan sambil menyebutkan namanya. Atau tutor menyuruh anak mengambil barang yang namanya telah disebutkan.
 Balok-balok (berwarna-warni)
Dengan bermain balok, anak dapat belajar menyebutkan macam-macam warna dan bentuk.
 Ungkapan kreatif
Tutor bermain drama bersama anak-anak. Tutor mengucapkan ungkapan-ungkapan kreatif kepada anak, agar anak dapat memahaminya dan menirukannya sebagai khasanah kosakatanya.

Beberapa permainan di atas merupakan sebagian kecil contoh permainan yang dapat dilakukan oleh tutor maupun orang tua sebagai media pembelajaran bahasa dengan teknik “bermain sambil belajar”. Pada waktu bermain, anak merasa senang. Hal ini dapat memicu kerja otak dan menurunkan ketegangan syaraf anak sehingga anak dapat mencapai kondisi alfa yaitu kondisi terbaik untuk belajar. Dalam kondisi itu, seseorang atau anak akan mudah mengingat apa yang telah dipelajarinya daripada ketika kondisi syaraf tegang dan penuh paksaan.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ‘bermain sambil belajar’ merupakan salah satu cara yang terbaik untuk mengoptimalkan kemampuan anak, termasuk kemampuan berbahasa.


VII.SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik simpulan bahwa pendidikan bahasa diperoleh anak sejak dalam kandungan dan berkembang pada tahun-tahun setelahnya. Pendidikan bahasa pada anak pra-sekolah sangat efektif apabila dilakukan dengan teknik “bermain sambil belajar”


VIII.DAFTAR PUSTAKA

Aswarni Sudjud, 1998. DAP dan Paradigma Baru Pendidikan Anak Usia Dini. Makalah Pendidikan Usia Dini. IKIP Yogyakarta.

Atmodiwiryo, E.T, 1994/1995. “Alat Bermain untuk Perkembangan Anak Taman Kanak-Kanak” dalam Prinsip-prinsip Pendidikan Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan.

Fuad Hasan, 1998. Bermain Sebagai Hak Anak. Makalah Seminar Pendidikan Anak Usia Dini. IKIP Yogyakarta.

Hurlock, Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Jardi, N. 1992. Masalah Penitipan Anak, dari Sejarah sampai Program. Makalah Perkembangan TPA. IKIP Yogyakarta.

Monks, F.J, Knoers, A.M.P dan Haditono, S.R. 1992. Psikologi Perkembangan, Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Pramuwito. 1997. Ujicoba Model Pengelolaan Taman Penitian Anak,Laporan Penelitian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta.

Sarjono, T.I. 1987. “Peranan Alat Bermain dalam Perkembangan Anak”, Rangsangan Dini Untuk Perkembangan Anak. Jakarta Pusat: Yayasan Jambangan Kasih.

Siswatiningsih. 1993. Urgensi Layanan Bimbingan dan Konseling Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jurnal Ilmiah Kependudukan IKIP Muhammadiyah Yogyakarya Edisi 18 Maret 1993.

Soemiarti Parmonodewo, 1995. Pendidikan Pra Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.

0 komentar: