Tidak Ada yang Lebih Agung

Senin, 12 April 2010


Tidak ada yang lebih indah selain kebersamaan. Tidak ada yang mampu kita miliki seutuhnya selain kenangan. Dan tidak ada yang lebih agung selain cinta kita kepada suami, subhanallah...

Dalam perjalananku, ada satu hal yang tidak pernah dapat aku hapus dari ingatan. Sebuah pernyataan dari seorang sahabat. Pernyataan sederhana yang membuat aku terhenyak. "Suatu saat kamu tidak akan pernah menyesal dengan jodohmu," katanya.Ku dengarka dan kucoba pahami, dan ternyata pernyataan itu memang mengandung sari yang luar biasa, yang mampu mewakili keresahan kita semua. Pernyataan itu intinya adalah bahwa seindah apapun perjalanan kasih kita dengan seseorang sebelum bertemu dengan 'jodoh' kita yang sesungguhnya, sedalam apapun rasa cinta itu, sehebat apapun orang yang berada disisi kita pada waktu itu, namun jangan pernah merasa berat dan menyesal ketika kehilangannya. Sebab... suatu saat kita akan bertemu dengan seseorang yang note bene adalah jodoh kita sesungguhnya, jodoh yang dikaruniakan oleh Allah Swt kepada kita dan ketika kita menemukannya kita tidak akan pernah menyesal karena dipersatukan dengannya. Sebab dari dialah kita akan menemukan 'kesempurnaan', 'ketentraman', dan 'keikhlasan' dalam menerima kita apa adanya. Dialah sumber kenikmatan dunia akhirat, dan tanpa kita sadari justru dalam diri jodoh kita nanti terdapat berbagai macam kelebihan dan keistimewaan lebih lebih dan lebih dari kekasih-kekasih kita terdahulu.

Pahami dan resapilah, karena jika kita mau sedikit berpikir...semua itu adalah pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua, bagi remaja yang baru beranjak dewasa, bagi kita yang hendak mengarungi pelabuhan bersama orang terkasih, bahkan bagi kita yang telah bertahun-tahun bergelut dengan alunan pernikahan. Maka, jika cinta itu datang di luar bingkai 'pernikahan' janganlah terlalu diagungkan. Dan jika cinta itu datang setelah ijab qabul dilantunkan, maka berbahagialah dan patuhilah laki-lakimu seperti kau mematuhi kedua orang tuamu. Sebagaimana sabda Nabi Saw :

"Seandainya aku boleh menyuruh seseorang untuk bersujud kepada seseorang, niscaya aku akan menyuruh seorang istri untuk bersujud kepada suaminya."

Dari hadist di atas jelas bahwa seorang istri harus menghormati suaminya. Maka, jika menjalin hubungan dengan orang yang belum menjadi suami, jangan pernah kalian berkorban 'materiil dan imateriil' demi laki-laki tersebut. Itu sangat-sangat merugi... Allahuma amien.(bersumber dari hati)

For All My Bestfriends


Untuk semua teman dan sahabatku:
Terima kasih atas waktu dan keceriaan yang telah kalian hadirkan bersama, di saat suka maupun duka. Tidak sehari dua hari kita bersama, tapi dalam hitungan tahun kita bergandengan tangan. Terkadang gandengan itu terlepas dan kita berpisah, namun itu hanya sementara sebab keikhlasan dan rasa cinta selalu menyatukan kita kembali untuk beradu dengan waktu.

Lama sudah kita tak saling sua, namun detak jantung kalian bertaut dalam jiwaku. Hasrat kalian menyatu dalam hasratku.

Jika kita kenang kembali masa itu, berapa banyak tawa yang dapat kita buat, berapa riang yang mampu kita rengkuh, meski tak sedikit pula luka dan air mata membasahi tangan-tangan kita. Namun anggaplah air mata itu adalah embun yang akan membasuh khilaf dan dosa kita.

Beberapa dari teman kita, mungkin sudah ada yang lebih berhasil dari kita. Maka, mari kita ucapkan selamat atas keberhasilan dan kerja kerasnya. Bagi kita yang belum, marilah kita tautkan hati kita untuk membangun sebuah kekuatan bahwa kita tidak sendiri dalam hidup. Ada kalian yang pernah hadir dalam detik-detik yang mencekam maupun menyenangkan. Do'a kalian,dan do'a kita untuk teman-teman kita...adalah roda bagi keberhasilan kita semua.

Terlahir dari rasa cinta dan kerinduanku kepada kalian, maka sengaja aku hadirkan kenangan terindah akan kebersamaan kita di sini... sebagai pengingat bahkan pengikat bahwa kita pernah bersama bergandengan tangan. Semoga sukses teman-teman...jangan saling melupakan, meski raga kita terhalang dinding yang begitu tinggi untuk sekedar bersuara dan mengucapkan 'selamat datang'...tapi jiwa kita tetap terbentang untuk saling sua dan menghaturkan do'a. Jika dalam perjalananku bersama kalian pernah ada salah, baik disengaja ataupun tidak dalam memperlakukan kalian, maafkan aku dan keluarga. Selamat berjuang kawan!!

(Terima kasih atas kehadiran kalian di "Puncak Kebahagiaan" kami semoga Allah Swt membalas setiap jengkal langkah kaki kalian dengan ridha dan ampunan-Nya...AmieN -Tyo & Okky-)

Mutu Pendidikan

Sabtu, 10 April 2010

a. Konsep Mutu Pendidikan

Konsep mengenai mutu pendidikan berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Mutu, dalam pengertian umum dapat diartikan sebagai derajat keunggulan suatu produk atau hasil kerja, baik berupa barang atau jasa.
Menurut Sallis dalam Syaefuddin, dkk. (2007:2-8 unit 2) terdapat tiga pengertian konsep mutu. Pertama, mutu sebagai konsep yang absolut (mutlak), kedua, mutu dalam konsep ysng relatif, dan ketiga, mutu menurut pelanggan.

(1)Dalam pengertian yang absolut, sesuatu dikatan bermutu jika memenuhi standar yang tertinggi dan tidak dapat diungguli, sehingga mutu dianggap sesutau yang ideal yang tidak dapat dikompromikan, seperti kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka konsep mutu absolut bersifat elite karena hanya sedikit lembaga pendidikan yang dapat memberikan pendidikan dengan high quality kepada siswa, dan sebagian besar siswa tidak dapat menjangkaunya.

(2)Dalam pengertian relatif, mutu bukanlah suatu atribut dari suatu produk atau jasa, tetapi sesuatu yang berasal dari produk atau jasa itu sendiri. Dalam konsep ini, produk yang bermutu adalah yang sesuai dengan tujuannya.

(3)Menurut pengertian pelanggan, mutu adalah sesuatu yang didefinisikan oleh pelanggan. Dalam konsep ini, ujung-ujungnya adalah kepuasan pelanggan, sehingga mutu ditentukan sejauh mana ia mampu memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka atau bahkan melebihi. Karena kepuasan dan keinginan merupakan suatu konsep yang abstrak, maka pengertian kualitas dalam hal ini disebut ‘kualitas dalam persepsi – quality in perception’.

Dalam konteks pendidikan, produk dari lembaga pendidikan berupa jasa. Kepuasan pelanggan (siswa, orang tua, dan masyarakat) dibagi dalam dua aspek yaitu tata layanan pendidikan dan prestasi yang dicapai siswa.
Sedangkan pendidikan yang bermutu mengacu pada berbagai input seperti tenaga pengajar, peralatan, buku, biaya pendidikan, teknologi, dan input-input lainnya yang diperlukan dalam proses pendidikan. Ada pula yang mengaitkan mutu pada proses (pembelajaran), dengan argumen bahwa proses pendidikan (pembelajaran) yang paling menentukan adalah kualitas. Orientasi mutu dari aspek output mendasarkan pada hasil pendidikan yang ditujukan oleh keunggulan akademik dan nonakademik di suatu sekolah. Bahkan saat ini, mutu pendidikan tidak hanya dapat dilihat dari prestasi yang dicapai, tetapi bagaimana prestasi tersebut dapat dibandingkan dengan standar yang ditetapkan, seperti yang tertuang di dalam UU No.20 tahun 2003 pasal 35 dan PP No.19 tahun 2005 (Syaifuddin, dkk. 2007:2-7).
Bunyi pasal 35 UU No.20 tahun 2003 pasal 35 adalah sebagai berikut:

(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.

(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembiayaan.

(3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standarisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.

(4) Ketentuan mengenai nasional pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Standar nasional pendidikan diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan adanya standar, dua orang guru tidak akan meberikan penafsiran berbeda terhadap kedalaman sebuah kompetensi dasar sebuah kurikulum. Demikian juga, dengan proses pembelajaran, guru akan berfokus pada hasil (output) yang harus dicapai, tidak sekedar memenuhi target administratif yang ada dalam petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) (Mulyasa, 2009:18).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dilihat bahwa ada berbagai macam konsep mengenai mutu pendidikan. Dari berbagai macam konsep tersebut maka saya menyimpulkan bahwa mutu pendidikan berkaitan dengan tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum di dalam UU No.20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selain itu, mutu pendidikan dapat dikatakan baik apabila memenuhi standar nasional pendidikan.

b. Hubungan antara Politik dan Mutu Pendidikan di Daerah

Landasan Politis berhubungan dengan dasar keberadaan pendidikan di Indonesia yang dihubungkan dengan keputusan-keputusan formal dalam pendidikan, yaitu keputusan pemerintah yang berhubungan dengan pendidikan baik di tingkat pusat, maupun kabupaten/kota (Hasan, 1996:63).
Ada beberapa keputusan politik yang memberi landasan pelaksanaan pendidikan di tingkat daerah, yaitu UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No.19 tahun 2005 serta UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan PP No.25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
Berkaitan dengan politik pendidikan, UU No.20 tahun 2003 pasal 38 ayat 1 dan 2 menyatakan, bahwa:

(1)Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh pemerintah.

(2)Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite aekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan propinsi untuk pendidikan menengah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik simpulan bahwa ada hubungan atau keterkaitan antara politik dengan mutu pendidikan. Apabila politik pendidikan sudah dapat dilaksanakan dengan baik dan optimal oleh semua pihak, baik pihak pusat maupun daerah maka mutu pendidikan dapat ditingkatkan. Hal ini dikarenakan politik pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintahan Indonesia saat ini sudah terstruktur dan berorientasi pada pengembangan daerah. Bahkan kebijakan politik sudah sampai ke tingkat satuan pendidikan terkecil yaitu sekolah.


DAFTAR PUSTAKA

Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Hasan, Hamid. 1995. Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta: Depdikbud.

Mulyasa, H. E. 2009. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kemandirian Guru dan Kepala Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.

Syaifuddin, Mohammad, dkk. 2007. Bahan Ajar Cetak Manajemen Berbasis Sekolah. Departemen Pendidikan Nasional.

Undang-undang Otomi Daerah 1999. Bandung: Citra Umbara.

Desentralisasi Pendidikan

a.Desentralisasi Pendidikan

Desentralisasi menurut UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten atau kota. Kewenangan tersebut dikenal dengan istilah desentralisasi pendidikan.
Sedangkan desentralisasi pendidikan menurut Salilm (2004:297-299) adalah penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada daerah dan masyarakat, dengan melalui fase dan bentuk desentralisasi sebagai berikut:

a. Pertama, desentralisasi pendidikan di Indonesia dalam bentuk ‘deconsentration’. Model ini telah berlangsung cukup lama dengan adanya organisasi vertikal berupa Kantor Wilayah (Kanwil) di tingkat propinsi dan Kantor Departemen (Kandep) di tingkat kabupaten/kota. Kanwil dan Kandep merupakan organisasi vertikal yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi di bidang pendidikan dari Departemen Pendidikan Nasional.

b. Kedua, desentralisasi dalam bentuk ‘delegation’. Model desentralisasi ini telah dirintis sejak penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun1951, yang menyatakan penyelenggaraan sekolah dasar (SD) menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Tingkat I (propinsi). Berdasarkan ketentuan tersebut, kewenangan penyelenggaraan SD, khususnya dalam urusan man, money, dan material (3 M) telah diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah propinsi.

c. Ketiga, desentralisasi pendidikan dalam bentuk ‘devolusi’. Model ini baru dilaksanakan melalui UU Nomor 22 tahun 1999 (tertanggal 7 Mei 1999) tentang Pemerintah Daerah, dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Berdasarkan keputusan ini, urutan penyelenggaraan pendidikan mulai dari taman kanak-kanak, SD, sampai pendidikan menengah diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota, kecuali pendidikan luar biasa diserahkan kepada pemerintah propinsi.

Desentralisasi pendidikan menurut Yuyarti (2004:1) tercantum di dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan PP No.25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Konsekuensi dari otonomi daerah ini antara lain adanya kewenangan yang lebih besar bagi daerah untuk mengatur manajemen pengembangan silabus dan pelaksanaanya. Oleh sebab itu, manajemen pendidikan berbasis pusat perlu diubah menjadi manajemen berbasis sekolah (MBS).
Program MBS ini merupakan program rintisan yang mengembangkan berbagai pendekatan untuk meningkatkan mutu pendidikan Sekolah Dasar dalam lingkungan desentralisasi pemerintah otonomi daerah. Artinya bahwa program tersebut memberikan lebih banyak kewenangan kepada sekolah dan masyarakat untuk mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan daerah masing-masing.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa desentralisasi pendidikan merupakan penyerahan sebagian wewenang pemerintah pusat kepada daerah (kabupaten/kota) dalam bidang pendidikan.
Apabila dilihat dari sejarahnya, sebenarnya desentralisasi pendidikan sudah diberlakukan sejak penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun1951, akan tetapi desentralisasi pada waktu itu ruang lingkupnya masih sangat sempit yaitu hanya terfokus pada penyelenggaraan SD, khususnya dalam urusan man, money, dan material (3 M). Sedangkan setelah penerbitan UU No.22 tahun 1999 desentralisasi semakin luas. Bahkan wewenang penyelenggaraan pendidikan telah diberikan hingga ke tingkat sekolah. Meskipun masih ada beberapa urusan yang masih menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Propinsi di Bidang Pendidikan
Pada dasarnya semua urusan bidang pendidikan dasar dan menengah telah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Namun terdapat beberapa urusan yang masih menjadi tanggung jawab dan kewenangan pemerinta pusat dan propinsi. Kewenangan pemerintah pusat dapat disebutkan sebagai berikut:
Menetapkan standar kompetensi siswa
(1) Menetapkan standar materi pelajaran pokok
(2) Menetapkan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik
(3) Menetapkan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan
(4) Menetapkan persayaratkan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa
(5) Menetapkan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah
(6) Mengatur dan mengembangkan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh serta menngatur sekolah internasional.

Pemerintah propinsi memiliki kewenangan yang berbeda dari kewenangan pemerintah pusat. Kewenangan-kewenangan pemerintah propinsi ini dapat disebutkan sebagai berikut:
(1) Menetapkan kebijakan penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang dan atau tidak mampu.
(2) Menyediakan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul pendidikan untuk TK, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar sekolah.
(3) Mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi, selain pengaturan kurikulum, akreditasi dan pengangkatan tenaga akademis.
(4) Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi, menyelenggarakan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/atau penataran guru (Salim, 2004:269-270).

Desentralisasi Pendidikan di Tingkat Sekolah

Desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah merupakan satu bentuk desentralisasi yang langsung sampai ke ujung tombak pendidikan di lapangan.
Beberapa urusan dalam bidang pendidikan yang secara langsung dapat diserahkan kepada sekolah adalah sebagai berikut:
(1)Menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah.
(2)Memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tersedia, fasilitas yang ada, jumlah guru, dan tenaga administratif yang dimiliki.
(3)Menetapkan kegiatan intrakulikuler dan ekstrakulikuler yang akan diadakan dan dilaksanakan oleh sekolah.
(4)Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, termasuk buku pelajaran dapat diberikan kepada sekolah, dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang ada.
(5)Penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, propinsi, maupun kabupaten.
(6)Proses pengajaran dan pembelajaran.
(7)Urusan teknis edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi tanggung jawab dan kewenangan sekolah.

Senada dengan pendapat Agus Salim di atas, tim penyususn buku Manajemen Berbasis Sekolah (2003:2) mengemukakan bahwa dengan dundangkannya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah pada hakekatnya memberi kewenangan dan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan daerah dan kota, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 11, mencakup semua bidang pemerintahan, yakni pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi serta tenaga kerja. Dengan demikian, jelaslah bahwa kebijakan pendidikan di bawah kewenangan daerah kabupaten dan kota.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat dilihat bahwa Agus Salim membagi wewenang dalam bidang pendidikan menjadi tiga yaitu wewenang pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan sekolah. Sedangkan menurut tim penyusun buku Manajemen Berbasis Sekolah, menitikberatkan kebijakan pendidikan kepada/menjadi kewenangan pemerintah daerah kabuaten/kota.
Adanya wewenang yang diberikan kepada pihak sekolah menimbulkan munculnya manajemen berbasis sekolah (MBS) dimana sekolah dapat mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan sekolah yang bersangkutan. Dengan adanya otonomi sekolah berbarti guru pun memiliki otonomi terhadap siswa dan lingkungan kelas. Sehingga, pembelajaran pun akan sesuai dengan muatan standar isi masing-masing mapel.

b. Pendidikan yang pembangunannya diserahkan di daerah otonom

Dengan adanya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, kebijakan pendidikan diserahkan di daerah otonom. Menurut saya penyerahan tersebut merupakan salah satu alternatif peningkatan mutu pendidikan yang tepat dan saya sangat setuju dan sangat mendukung. Hal itu dikarenakan masing-masing daerah otonom memiliki kemampuan dan kapasitas yang berbeda, baik dari segi sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Sehingga, dengan adanya desentralisasi pendidikan maka tiap-tiap daerah kabupaten/kota dapat menjalankan pendidikan yang berorientasi pada pengembangan daerahnya sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

Menurut Hanson dalam Salim (2004: 299-300) tujuan pendidikan adalah untuk:
(1) Mempercepat pertumbuhan ekonomi
(2) Meningkatkan efisiensi manajemen
(3) Distribusi tanggung jawab dalam bidang keuangan
(4) Meningkatkan demokrasi melalui distribusi kekuasaan
(5) Kontrol lokal menjadi lebih besar melalui deregulasi
(6) Pendidikan berbasis kebutuhan pasar
(7) Menetralisasi pusat-pusat kekuasaan
(8) Meningkatkan kualitas pendidikan

Berkenaan dengan peningkatan kualitas pendidikan tersebut menurut Sallis dalam Anwar, dkk. (2004:57-58) ada dua hal yang selalu menjadi pertanyaan mendasar. Pertama, apa yang menjadi produk pendidikan. Kedua, siapa yang dimaksud dengan pelanggan (customer) pendidikan. Guna memperoleh jaminan kualitas produk pendidikan diperlukan: (1) pengawasan yang spesifik terhadap suplai; dan (2) bahan mentah atau bahan baku (raw material) harus memenuhi standar yang ditentukan sehingga proses pendidikan dan outputnya sesuai dengan spesifikasi yang didefinisikan. Siswa tidak dapat disebut produk jaminan standar tertentu. Pendapat Lynton dan Gray menyatakan bahwa manusia dikenal sebagai elemen atau unsur nonstandar, karena mereka mempunyai pengalaman emosi, dan pendapat yang tidak dapat dipandang dari siswa, tetapi ditentukan ole jasa pendidikan yaitu pengajaran atau pelayanan belajar.
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik simpulan bahwa langkah pemerintah dalam menetapkan desentralisasi pendidikan sudah tepat. Sedangkan berhasil atau tidaknya tinggal melihat dari pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, H. Qomari, dkk. 2004. Profesi Jabatan Kependidikan dan Guru sebagai Upaya Menjamin Kualitas Pembelajaran. Jakarta: Uhamka Press.

Poedjawijatnya, I. R., 1983. Pembimbing ke Arah Alam Filasafat. Jakarta: Rineka Cipta.

Salim, Agus. 2004. Indonesia Belajarlah Membangun Pendidikan Indonesia. Semarang: Gerbang Madani Indonesia.

Tim Penyusun. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. Modul untuk bahan bacaan bagi peserta workshop Kepala Madrasah Aliyah dalam rangka peningkatan mutu sekolah menengah tahun 2003.

UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Yuyarti. 2004. Usaha Menigkatkan Mutu Pendidikan Melalui Program MBS, PAKEM, dan PSM. Semarang: Fakultas Ilmu Pendidikan Unnes.

Peran Ilmu Sosiologi dalam Pendidikan



a.Peran Sosiologi dalam pendidikan
Sebelum melihat apa peran sosiologi dalam pendidikan, kita perlu mengetahui terlebih dahulu ilmu-ilmu yang mendasari ilmu pendidikan. Menurut Vaizey (1987:8) ada dua ilmu utama yang mendasari ilmu pendidikan yaitu psikologi dan sosiologi. Psikologi telah menambah pengetahuan tentang proses pendidikan dengan jalan membedakan antara hasil yang dicapai, yang diukur dengan penyelesaian suatu tugas, dan kemampuan sebagai suatu kekuatan potensiil yang ada. Sedangkan Sosiologi merupakan ilmu yang masih muda. Kajiannya sangat luas, akan tetapi dalam pendidikanlah para tokoh sosiologi memberikan apa yang mungkin merupakan sumbangannya yang terbesar terhadap pengetahuan dan garis kebijaksanaan.
Kedua ilmu di atas, sama-sama merupakan ilmu yang mempunyai peran penting dalam pendidikan. Namun, dalam pembahasan ini hanya akan difokuskan pada ilmu sosiologi dan bidang kajiannya.
Sosiologi merupakan ilmu sosial yang mempelajari hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia sebagai individu dengan anggota masyarakat. Sedangkan menurut Munib (2007:58) pendidikan tidak berjalan dengan vakum sosial. Hal ini dikarenakan antara bidang kajian sosiologi dan pendidikan saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Bidang kajian sosiologi yang berkaitan langsung dengan pendidikan dapat dibedakan menjadi dua yaitu (1) Pendidikan dan masyarakat dan (2) Pendidikan dan perubahan sosial.

(1)Pendidikan dan masyarakat.
Dilihat dari sudut masyarakat secara keseluruhan, fungsi pendidikan adalah untuk memelihara kebudayaan. Kebudayaan berhubungan dengan nilai-nilai, kepercayaan, norma-norma yang turun temurun dari generasi dan generasi yang selalui mengalami perubahan.

(2)Pendidikan dan perubahan sosial

Sekolah dan masyarakat saling mempengaruhi dalam berbagai cara. Beberapa di antara perubahan tersebut adalah:
a.Perubahan teknologi
Dilihat dari sudut pandang sekolah, perubahan teknologi mempunyai tiga dampak penting, yaitu
ŏ Perubahan teknologi dapat menciptakan suatu tuntutan bagi individu untuk memiliki keterampilan baru.
ŏ Perubahan teknologi menuntut agar sekolah dapat mempersiapkan lulusannya untuk dapat menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi.
ŏ Pengaruh teknologi terhadap sekolah yang terutama adalah pada penggunaan media pembelajaran, komunikasi, transformasi, dan revolusi bioteknologi.

b. Perubahan demografi
Perubahan yang terjadi sehubungan dengan ukuran, penyaluran, dan komposisi penduduk. Pengaruhnya terhadap pendidikan antara lain:
ŏ Pengembangan kebijakan pendidikan.
ŏ Pembatasan secara ketat penerimaan siswa baru.
ŏ Ketidakseimbangan antara pertambahan penduduk dengan fasilitas pendidikan.

c.Urbanisasi dan sub-urbanisasi
ŏ Tanggung jawab sekolah membantu penyesuaian diri dari berbagai macam kelompok yang sebagian besar merupakan penduduk perkotaan.
ŏ Sekolah mempunyai peranan yang penting dalam membantu mekanisme kontrol sosial di masyarakat.
ŏ Sekolah menentukan pengalaman pendidikan khususnya dalam mempersiapkan peserta didik secara tepat untuk hidup diperkotaan.

d. Perubahan politik masyarakat, bangsa, dan negara
Dua perubahan utama telah dan akan terus berlangsung yang memiliki dampak terhadap pendidikan, terjadi di dalam struktur pemerintahan dan di dalam masyarakat, yaitu:
ŏ Meningkatnya keterlibatan pemerintahan di dalam kegiatan-kegiatan anggota masyarakat.
ŏ Berkembangnya saling ketergantungan antara pemerintah negara yang satu dengan pemerintah negara yang lain, tidak hanya di lingkungan masyarakatnya, tetapi juga antar bangsa.

Asumsi-asumsi mengenai peran sosiologi dalam pendidikan tersebut di atas kemudian memunculkan beranekaragam teori-teori sosiologi. Teori-teori Sosiologi ini menurut Wuradji (1988:9) juga digunakan atau diterapkan dalam bidang pendidikan oleh para ahli Sosiologi Pendidikan. Banyak teori-teori sosiologi dan juga telah diterapkan di bidang pendidikan, akan tetapi teori-teori yang cukup dominan dan yang telah bertahan cukup lama adalah teori “Struktural Fungsional” dan teori “Konflik”. Namun semenjak tahun 1970-an telah ramai diperdebatkan munculnya pandangan baru, yang oleh para pencetusnya dinamakan “the new sociology of education” yang menggunakan pendekatan teori interaksional dan teori etnometodologi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosiologi memiliki peran yang sangat penting dalam pendidikan karena sosiologi mempelajari dan mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik manusia sebagai individu dengan individu, maupun individu dengan masyarakat bahkan dengan pemerintah. Hubungan manusia dengan manusia itu juga merupakan substansi penting dalam lingkup pendidikan. Bahkan dengan munculnya sosiologi sebagai disiplin ilmu yang baru menyebabkan munculnya teori-teori sosiologi bahkan muncul teori sosiologi yang khusus menyoroti masalah pendidikan. Teori tersebut dikenal dengan istilah teori sosiologi pendidikan.

b. Teori Sosiologi Karl Marx dan Implikasinya terhadap Praksis Pendidikan Sekarang
۵ Teori Sosiologi karl Marx
Karl marx merupakan salah satu penganut aliran marxisme. Ia adalah keturunan Yahudi yang dilahirkan di Jerman pada tahun 1818 dan meninggal dunia pada tahun 1883.
۵ Karl marx mengemukakan pendapatnya tentang manusia, bahwa manusia baginya adalah seseorang yang tidak berarti apa-apa. Arti manusia dikaitkan dengan masyarakat. Masyarakat harus berkembang, dan perkembangan masyarakat disebut sebagai sejarah. Menurut Marx yang menjadi dorongan perkembangan masyarakat adalah yang menjadi dorongan jalan sejarah yaitu kekuatan materia yang ada di dalam masyarakat itu. Konsep ini juga memperjelas bahwa Marx sangat membedakan antara manusia dengan binatang. Perbedaan ini terletak pada cara atau usaha dalam mencapai keperluan hidupnya. Manusia dalam mencapai keperluan hidupnya harus mencari dan menggunakan alat (Poedjawijatna, 1983:168).

Asumsi dasar pemikiran Karl Marx adalah bahwa kepentingan manusia adalah untuk mempertahankan materi. Pandangan Marx yang agak ekstrem determinase sosial atas tingkah laku individu, bahwa manusia pada hakekatnya mengejar kepentingannya sendiri. Marx percaya bahwa manusia memiliki potensi untuk menjadi egois atau tidak egois bergantung dari sifat hubungan-hubungan tempat ia lahir atau dimana ia berada (Mof, 1997:1).
Menurut Marx (dalam Lawang, 1986:120) kehidupan individu dan masyarakat kita didasarkan pada asas ekonomi. Antara lain berarti bahwa institusi-instritusi politik, pendidikan, agama, ilmu pengetahuan, seni, keluarga, dan sebagainya, bergantung pada tersedianya sumber-sumber ekonomi. Hal ini berarti juga bahwa institusi-institusi ini tidak dapat berkembang dengan tuntutan-tuntutan sistem ekonomi. Pendirian dan pemeliharaan perpustakaan dan museum sebagai tempat menyimpan ciptaan-ciptaan budaya, berhasilnya suatu tim atletik, terwujudnya suatu kebijakan politik, kesenangan keluarga dalam suatu perjalanan liburan, suatu penelitian seorang ilmuwan, semua ini dan kegiatan lain yang tidak terbilang jumlahnya tidak dapat dilaksanakan tanpa sumber materiil yang diperoleh lewat kegiatan ekonomi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teori sosiologi Karl Marx berorientasi pada materi. Karl marx tidak mengakui adanya kebebasan individu, tetapi kebebasan pribadi dibatasi oleh kelompok elite yang menngatas namakan rakyat banyak. Paham ini menurt saya kurang cocok apabila dimplikasikan pada pendidikan di Indoneia karena paham yang dianut Karl Marx berbeda dengan paham yang dianut Indonesia yaitu pancasila.
Oleh karena itu, pandangan Karl Marx tidak sesuai apabila diterapkan di Indonesia, karena Indonesia menganut filosofi manusia yang memandang manusia secara utuh. Bahkan Indonesia telah jelas-jelas menolak pandangan atau pendirian materialisme. Hal tersebut tertuang dalam pandangan hidup Pancasila yang dijabarkan lebih lanjut dalam UUD 1945, dan GBHN yang dituangkan dalam Tap. No. IV/MPR/1973 dan IV/MPR/1978 dengan poin-poin pendirian sebagai berikut:
۵ Kita menolak pendirian materialisme, yang menganggap manusia sebagai materi semata-mata.
۵ Kita juga tidak dapat menerima visi Plato dengan dualismenya.
۵ Pendapat Aristoteles bahwa jiwa manusia akan musnah pada saat kematian manusia tidak sesuai dengan pendapat kita.

Kita menegaskan bahwa manusia itu makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial, manusia itu makhluk jasmani maupun rohani (Budiman, dkk. 1986:124). Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Indonesia sangat menentang pendapat Karl Marx. Bahkan pendapat Karl Marx apabila diterapkan pada pendidikan di Indonesia tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tertuang di dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan un tuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teori sosiologi Karl Marx sangat tidak cocok diterapkan di Indonesia, khususnya dibidang pendidikan. Sebab, tujuan pendidikan di Indonesia bukan untuk memperoleh material belaka tetapi untuk membentuk manusia seutuhnya yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arief, dkk. 1986. Mencari Konsep Manusia Indonesia Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Erlangga.

Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Lawang. Robert M. Z. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia.

Mof, Yahya. 1997. Hasil Analisis terhadap Teori Konflik (Karl Marx). Makalah.
Yogyakarta: Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Program Pascasarjana IKIP Yogyakarta.

Munib, Achmad. 2007. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT MKK Unnes.

Vaizey, John. 1987. Pendidikan Dunia Modern. Jakarta: Binaprinindo Aksara.

Wuradji. 1988. Sosiologi Pendidikan Sebuah Pendekatan Sosio-Antropologi. Jakarta: Depdikbud.

Proposal Penelitian Tindakan Kelas (Contoh)

A. JUDUL :PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS TEKS DRAMA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS XI IPA 1 SMA PGRI SLAWI

B. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, sastra merupakan salah satu materi pengajaran yang harus disampaikan. Pengajaran sastra termasuk dalam pengajaran yang sudah tua dan sampai sekarang tetap bertahan dalam pengajaran dan juga tercantum dalam kurikulum sekolah. Bertahannya pengajaran sastra di sekolah dikarenakan pengajaran sastra mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai aspek tujuan pendidikan, seperti aspek pendidikan susila, sosial, sikap, penilaian, dan keagamaan (Rusyana 1982:26). Rusyana juga mengungkapkan bahwa tujuan pengajaran sastra adalah agar siswa memperoleh pengalaman sastra dan pengetahuan sastra.
Salah satu upaya dalam mencapai tujuan pengajaran sastra, pengetahuan sastra yang diajarkan pada siswa hendaknya berangkat dari suatu penghayatan atas suatu karya sastra yang konkrit. Hal ini berarti bahwa pengetahuan ini merupakan pelengkap pengalaman sastra sehingga siswa betul-betul memperoleh akar yang kuat.
Sehubungan dengan hal tersebut maka nilai pengajaran sastra memiliki dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan watak, yaitu (a) pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam, dan (b) pengajaran sastra hendaknya mampu memberikan bantuan dalam usaha menngembangkan kualitas kepribadian siswa, misalnya ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan.
Dalam pembelajaran sastra khususnya drama, siswa diharapkan dapat menulis teks drama. Selain itu, dengan menulis teks drama pengalaman batin siswa akan bertambah, wawasan siswa semakin luas sehingga terbentuk sikap posistif dalam diri siswa untuk menghadapi norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Dalam pembelajaran menulis drama, sering ditemukan beberapa permasalahan di antaranya siswa kurang bermiinat dan kurang serius dalam mengikuti pelajaran, banyak siswa yang mengeluh jika kegiatan pembelajaran sampai pada menulis. Mereka merasa kesulitan dalam menuangkan idea tau gagasan ke dalam sebuah tulisan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka guru harus memilih strategi pembelajaran yang tepat. Salah satu strategi pembelajaran yang tepat menurut peneliti adalah pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Pembeajaran dengan pendekatan kontekstual tersebut diharapkan dapat meningkatkan kemampuan menulis teks drama siswa dan merubah perilaku siswa kea rah positif.
Dengan penggunaan pendekatan kontekstual tersebut diharapkan siswa data lebih aktif dan berminat dalam pembelajaran sastra khususnya menulis teks drama. Untuk itulah peneliti mengadakan penelitian tentang keterampilan menulis teks drama dengan pendekatan kontekstual pada siswa kelas XI IPA I SMA PGRI Slawi.

2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, faktor-faktor penghambat yang teridentifikasi dalam pembelajaran menulis teks drama yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari siswa. Banyak siswa yang beranggapan pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah pelajaran yang membosankan dan menjenuhkan sehingga siswa kurang termotivasi dalam mengikuti pelajaran. Selain itu juga siswa menganggap pelajaran sastra khususnya menulis teks drama sulit diikuti dan membosankan. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman siswa terhadap materi, sulitnya siswa dalam menuangkan ide dan gagasan, dan kurangnya keseriusan siswa dalam mengikuti pelajaran.
Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari guru. Kurangnya keterampilan menulis drama dapat disebabkan karena strategi belajar dan mengajar yang digunakan guru kurang optimal. Dalam pembelajaran menulis teks drama, guru masih menggunakan teknik ceramah yang menyebabkan siswa kurang termotivasi dalam mengikuti pembelajaran.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan menulis teks drama adalah dengan pendekatan kontekstual yang akan merangsang kemampuan siswa agar terampil dalam menulis teks drama.

3. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam tesis ini dipusatkan pada upaya peningkatan keterampilan menulis teks drama dengan pendekatan konteskstual komponen konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inkuiri), masyarakat belajar (Learning Community), permodelan (Modeling), refleksi (Reflection) dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).

4. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Bagaimanakah peningkatan keterampilan menulis teks drama siswa kelas XI IPA I SMA PGRI Slawi setelah mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual?
2) Bagaimana perubahan perilaku siswa kelas XI IPA 1 SMA PGRI Slawi setelah mengikuti pembelajaran menulis teks drama dengan pendekatan kontekstual?

5. Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Meningkatkan keterampilan menulis teks drama siswa kelas XI IPA I SMA PGRI Slawi setelah mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual?
2) mendeskripsikan perubahan perilaku siswa kelas XI IPA 1 SMA PGRI Slawi setelah mengikuti pembelajaran menulis teks drama dengan pendekatan kontekstual?

6. Manfaat Penelitian
Dalam penyusunan Tesis ini, peneliti berharap hasil penelitian ini akan mempunyai manfaat baik secara teoritis maupun praktis.
1)Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini adalah memberikan masukan pengetahuan tentang pengembangan teori pembelajaran menulis teks drama dengan pendekatan kontekstual. Selain itu dapat memberikan sumbangan pemikiran dan tolak ukur kajian pada penelitian yang lebih lanjut.
2)Manfaat praktis.
Manfaat praktis penelitian ini bagi guru, siswa, peneliti:
a. Manfaat bagi guru
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternative pemilihan teknik pembelajaran menulis teks drama.
b. Manfaat bagi siswa
Siswa lebih mudah dan cepat menemukan idea atau gagasan keterampilan menulis teks drama dan meningkatkan keterampilan menulis teks drama siswa.
c. Manfaat bagi peneliti
Manfaat bagi peneliti adalah dapat memperkaya wawasan mengenai penggunakan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran.

C. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS
1. Kajian Pustaka
Banyak penelitian yang menyangkut keterampilan menulis siswa SMA, di antaranya hasil penelitian Thomas Bagyo. Bagyo (2004) dalam penelitiannya yang berjudul Peningkatan Keterampilan Menulis Teks Drama dengan Teknik Modeling pada Siswa Kelas IV D SD PL Bernardus Semarang, menunjukkan terdapat peningkatan keterampilan menulis teks drama setelah pembelajaran kontekstual komponen pemodelan diterapkan.
Hasil penelitian Astuti (2004) yang berjudul Peningkatan Keterampilan Menulis Karangan Narasi dengan Pendekatan Kontekstual Komponen Pemodelan pada Siswa kelas II Ps 4 SMK N 8 Semarang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan peningkatan keterampilan menulis karangan narasi siswa kelas II Ps 4 SMK N 8 Semarang setelah menggunakan pendekatan kontekstual komponen pemodelan.
Utami (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Peningkatan Keterampilan Menulis Teks Drama Jawa dengan Media Kaset pada Siswa SMP Negeri 3 Bawang Banjarnegara mengkaji peran media kaset dalam peningkatan keterampilan menulis teks drama Jawa dan perubahan tingkah laku siswa. Penelitian relevan lainnya adalah penelitian yang dilakukan Komariyah (2006). Peneliltian tersebut berjudul Peningkatan Keterampilan Menuis Teks Drama dengan Pendekatan Kontekstual Komponen Pemodelan pada Siswa Kelas XI IPA 2 MA AL-ASROR Patemon. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pendekatan kontekstual komponen pemodelan dapat meningkatkan keterampilan menulis teks drama.
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual dapat diterapkan pada pembelajaran keterampilan menulis dengan menggunakan komponen yang terdapat dalam pendekatan kontekstual.

2. Landasan Teoretis
Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah hakikat menulis, hakikat menulis teks drama, dan hakikat pendekatan kontekstual. Deskripsi lengkap tentang hal-hal tersebut adalah sebagai berikut.

a.Hakikat Menulis
Menulis mempunyai posisi tersendiri dalam kaitannya dengan upaya membantu siswa mengembangkan kegiatan berpikir dan pendalaman bahan ajar. Menulis merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang paling kompleks. Menulis menuntut pengalaman, waktu, kesempatan, latihan, keterampilan-keterampilan khusus, dan pengajaran langsung menjadi seoranng penulis, menuntut gagasan-gagasan secara logis, diekspresikan secara jelas, dan ditata secara menarik (Tarigan, 1996:8).
Menulis menuntut sejumlah pengetahuan dan kemampuan sekaligus. Pengetahuan pertama menyangkut isi karangan, yang kedua menyangkut aspek-aspek kebahasaan dan teknik penulisan yang dapat dipelajari secara teoretis.
Menulis mempunyai tujuan tertentu. Berdasarkan penyelidikan tehadap guru, menurut Raimes (1987) kegiatan menulis bertujuan (1) memberikan penguatan (reinforcement), (2) memberikan pelatihan (training), (3) membimbing siswa melakukan peniruan atau imitasi (imitation), (4) melatih siswa berkomunikasi (communication), (5) membuat siswa lebih lancar dalam berbahasa (fluency), dan (6) menjadikan siswa lebih giat belajar (Learning).
Dengan memperhatikan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa menulis merupakan suatu kegiatan yang banyak menuntut kemampuan bidang kebahasaan dan pengetahuan di luar kebahasaan yang menjadi isi tulisan, yang merupakan idea tau gagasan secara sistematis sehingga mudah dipahami oleh pembacanya.

b. Hakikat Pembelajaran Menulis Teks Drama
Berdasarkan etimologi drama berasal dari kata “dramoi” (bahasa Yunani) yang berarti menirukan, action dalam bahasa Inggris. Dalam penngertian umum, kemudian istilah drama diartikan perbuatan atau gerak dalam fungsinya untuk menyatakan perbuatan manusia.
Unsur terpenting drama adalah teks drama. Teks drama menurut Usul Wiyanto (dalam Didik komaidi, 2007:230) adalah karangan yang berisi cerita atau lakon. Teks drama memuat nama-nama tokoh dalam cerita, dialog yang diucapkan tokoh dalam cerita, dan keadaan panggung yang diperlukan. Sedangkan unsur dasar teks drama menurut Nursantara (2004: 136-137) adalah tema, plot, dialog, karakter, bahasa, ide, pesan, dan setting.
Luxemburg (1984) mengatakan bahwa teks drama merupakan teks yang berupa dialog-dialog dan isinya membentanngkan sebuah alur. Teks drama dapat diberi sebuah batasan sebagai salah satu karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan untuk dipentaskan.
Teks drama ditulis dengan dasar untuk dipentaskan bukan untuk dibaca. Sayuti (2001: 79-81) menyampaikan langkah-langkah menulis teks drama yaitu (1) preparasi atau persiapan yaitu tahap pengumpulan informasi dan data yag dibutuhkan, (2) inkubasi atau pengendapan, saat mengolah ‘bahan mentah’ diperkaya melalui inkubasi pengetahuan dan pengalaman yang relevan, (3) Iluminasi yaitu penulisan karya (penciptaan) dapat diselesaikan, (4) verifikasi atau tinjauan secara kritis. Pada tahap ini, seorang penulis melakukan evaluasi karya ciptaanya, self evaluation.
Pembelajaran menulis teks drama dalam penelitian ini adalah untuk melatih keterampilan siswa dalam menulis teks drama dengan baik dan benar, serta sesuai dengan kaidah penulisan drama. Pembelajaran menulis teks drama tidak akan maksimal tanpa terlebih dahulu dilakukan latihan. Latihan menulis teks drama dilakukan secara bertahap agar siswa mampu menulis teks drama dengan benar.
Waluyo (2003:159) menyatakan bahwa latihan menulis yang berkaitan dengan drama dapat berupa menulis drama (sederhana), menulis synopsis drama, dan menulis resensi (teks drama maupun pementasan drama). Tugas menulis itu dapat dilakukan secara individu maupun secara kelompok. Hasilnya dapat dilaporkan kepada guru secara tertulis, dapat juga dibaca di depan kelas.

c. Pendekatan Kontekstual
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inkuiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment) (Depdiknas 2002:5).
Nurhadi dan Senduk (2003:5) menyatakan bahwa pendekatan kontekstual adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang menekankan pentingnya lingkungan alamiah itu diciptakan dalam proses belajar agar kelas lebih hidup dan lebih bermakna karena siswa mengalami sendiri apa yang dipelajarinya. Pendekatan kontekstual merupakan pendekatan yang memungkinkan siswa untuk menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan kehidupan baik di sekolah maupun di luar sekolah. Selain itu, siswa dilatih untuk dapat memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam suatu situasi, misalnya dalam bentuk simulasi, dan masalah yang memang ada dalam dunia nyata.
Nurhadi (2004:106) menyampaikan bahwa penerapan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut: (1) kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya, (2) laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik, (3) kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya, (4) ciptakan ‘masyarakat belajar’ (belajar dalam kelompok-kelompok), (5) hadirkan ‘model’ sebagai contoh pembelajaran, (6) lakukan refleksi di akhir pertemuan, (7) lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara. Lebih lanjut Nurhadi (2004:107) menyampaikan ciri kelas yang menggunakan pendekatan kontekstual yakni: (1) pengalaman nyata, (2) kerjasama, (3) saling menunjang, (4) gembira, (5) belajar bergairah, (6) pembelajaran terintegrasi, (7) menggunakan berbagai sumber, (8) siswa aktif dan kritis, (9) menyenangkan, tidak membosankan, (10) sharing dengan teman, (11) guru kreatif.

D. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (PTK). Ebbut dalam Kasihani Kasbolah (2001:9) mendefinisikan penelitian tindakan merupakan studi yang sistematis yang dilakukan dalam upaya memperbaiki praktik-praktik dalam pendidikan dengan melakukan tindakan praktis serta refleksi dari tindakan tersebut.
Ebbut melihat proses pelaksanaan penelitian tindakan ini sebagai suatu rangkaian siklus yang berkelanjutan. Dalam penelitian tindakan ini menggunakan dua siklus, masing-masing siklus terdiri dari empat tahap yaitu: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) analisis dan refleksi.

2. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah keterampilan menulis teks drama siswa SMA PGRI Slawi Kelas XI IPA 1. Kelas XI IPA 1 tersebut terdiri dari 46 siswa, yaitu 15 laki-laki dan 31 perempuan. Peneliti mengambil subjek tersebut dengan alasan berdasarkan hasil wawancara dengan guru mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA PGRI Slawi yang mengajar kelas XI IPA 1, saat ini kondisi kemampuan menulis teks drama siswa kelas tersebut rendah.

3. Variabel Penelitian
Ada dua variabel yang diteliti yaitu: 1) keterampilan menulis teks drama dengan indikator menulis teks drama dengan menggunakan bahasa yang sesuai untuk: mendeskripsikan perilaku manusia melalui dialog, menghidupkan konflik, memunculkan penampilan (performance), 2) variabel penggunaan pendekatan kontekstual.

E. DAFTAR PUSTAKA

Astuti. 2004. Peningkatan Keterampilan Menulis Karangan Narasi dengan Pendekatan Kontekstual Komponen Pemodelan pada Siswa kelas II Ps 4 SMK N 8 Semarang. Skripsi: Unnes.

Bagyo, Thomas. 2004. Peningkatan Keterampilan Menulis Teks Drama dengan Teknik Modeling pada Siswa Kelas IV D SD Bernardus Semarang. Skripsi: Unnes.

Depdiknas. 2002. Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Depdiknas.

Kasihani, Kasbolah E.S. 2001. Penelitian Tindakan Kelas. Malang: Universitas Negeri Malang.

Komaidi, Didik. 2007. Aku Bisa Menulis. Yogyakarta: Sabda Media.

Komariyah. 2006. Peningkatan Keterampilan Menulis Teks Drama dengan Pendekatan Kontekstual Komponen Pemodelan pada Kelas XI IPA 2 MA AL-ASROR Patemon. Skripsi: Unnes.

Luxemburg, Jan Van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Nurhadi. 2004. Kurikulum 2004. Jakarta: Gramedia.

Nursantara, Yayat. 2004. Kesenian SMA Seni Rupa, Musik, Tari, dan Drama untuk Kelas X. Jakarta: Erlangga.

Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang.

Sayuti, Suminto A. 2003. Sastra Model Posmo dan Pengajarannya. Semarang: Yudhistira.

Utami, Titi. 2005. Peningkatan Keterampilan Menulis Teks Drama Jawa dengan Media Kaset pada Siswa SMP Negeri 3 Bawang Banjar Negara. Skripsi: Unnes.

Waluyo, Herman J. 2003. Drama Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Laskar Pelangi, Sebuah Potret Pendidikan Kaum Marginal di Indonesia

Rabu, 07 April 2010

(Analisis terhadap film Laskar Pelangi yang merupakan adaptasi novel “Laskar Pelangi” karya Andrea Hinata).

Pertama kali saya meihat cuplikan film “Laskar Pelangi” di layar kaca beberapa bulan yang lalu, terbersit di benak saya bahwa film Laskar Pelangi merupakan angin segar bagi perfilman Indonesia. Tema yang diusung pun sangat apik, menyentuh dan sangat dekat dengan kehidupan orang-orang yang terpinggirkan atau istilah lainnya adalah kaum marginal. Pikiran dan hati saya semakin melambung ketika di situ digambarkan ada sebuah sekolah yang sangat sederhana, bahkan dapat dibilang sangat memprihatinkan. Sebelumnya saya tidak tahu banyak tentang alur cerita tersebut, hingga pada akhirnya saya menonton sendiri film tersebut dari awal hingga akhir.

Pertama menonton, saya menangkap sebuah kesederhanaan dan keriangan dari anak-anak kecil yang tinggal di pulau. Tempat tersebut jauh dari kemewahan, kebisingan, namun sarat dengan kedamaian. Nuansa pendidikan begitu kental, pelajaran hidup mengalir lewat laku dan dialog para tokoh.

Alur demi alur pun saya lewati dengan penuh pengharapan bahwa film ini akan benar-benar konsisten dengan temanya yaitu pendidikan. Dan ternyata, lebih dari itu. Saya menemukan banyak sekali pengalaman hidup yang dikemas dengan rapi, amanat yang tersirat dan tersurat yang begitu menyentuh hati, bahkan seolah-olah saya mendapatkan kembali ruh saya, jiwa saya, kemerdekaan saya, dan kegigihan saya yang sempat hilang oleh polemik kehidupan.

Melihat senyum dan mendengar tawa dari anak-anak laskar pelangi, membuat saya semangat. Dan yang paling mengejutkan adalah ketika ada sebuah kegiatan karnaval. Anak-anak menawarkan sebuah kesenian yang sangat- sangat sederhana dan apa adanya dibandingkan dengan kelompok yang lain. Saya benar-benar kagum dengan penulis novel ini, yang berani dan mampu mengangkat tema pendidikan ke tengah maraknya film percintaan, horror, dan film-film yang kurang bermutu hadir di tengah-tengah masyarakat.

Untuk menunjukkan kekaguman dan penghargaan saya tehadap film dan novel ‘Laskar Pelangi’ ini, maka saya menyebutnya bahwa film Laskar Pelangi merupaka film yang sangat ‘berani’ dan mampu menyuguhkan potret pendidikan kaum marginal di Indonesia.

LASKAR PELANGI

Laskar Pelangi merupakan sebuah novel karya Andrea Hirata yang mengisahkan kisah nyata tentang sepuluh anak kampung di Pulau Belitong, Sumatera. Mereka bersekolah di sebuah SD yang bangunannya nyaris rubuh dan kalau malam jadi kandang ternak. Sekolah itu nyaris ditutup karena muridnya tidak sampai sepuluh sebagai persyaratan minimal.

Keberuntungan atau lebih tepatnya takdir, rupanya masih berpihak pada sepuluh anak kampung Pulau Belitong ini. Sebelum sekolah ini ditutup, ada salah satu siswa yang bernama Harun mendaftarkan diri. Akhirnya, sekolah ini tetap eksis dan bisa terus melanjutkan pendidikannya untuk anak-anak Belitong. Sungguh permasalahan pelik, di saat manusia membutuhkan pendidikan, banyak rintangan menghampiri. Pendidikan menjadi barang mewah yang harus diperjuangkan. Mau belajar saja harus mengantri terlebih dahulu.Inilah kisah nyata atau lebih tepatnya wajah lain dari birokrasi pendidikan di Indonesia yang masih kurang peduli pada kaum pinggiran.

Novel tersebut kemudian di film-kan dengan judul yang sama “Laskar Pelangi” dan tetap dengan menggunakan setting tahun 70-an.

PERJUANGAN ANAK-ANAK LASKAR PELANGI

Di dalam film “Laskar Pelangi” ini diceritakan bagaimana anak-anak kampung miskin di Pulau Belitong itu berjuang dengan gigihnya agar dapat belajar walaupun dalam keadaan yang terbatas. Mereka bersekolah tanpa alas kaki, baju tanpa kancing, atap sekolah yang bocor jika hujan, dan papan tulis yang berlubang hingga terpaksa ditambal dengan poster Rhoma Irama.

Tetapi, mereka tidak putus asa. Mereka terus berjuang. Hari pertama pembukaan kelas baru di sekolah SD Muhammadyah menjadi sangat menegangkan bagi dua guru luar biasa, Muslimah (Cut Mini) dan Pak Harfan (Ikranagara), serta 9 orang murid yang menunggu di sekolah yang terletak di desa Gantong, Belitong. Sebab kalau tidak mencapai 10 murid yang mendaftar, sekolah akan ditutup.

Hari itu, Harun, seorang murid istimewa menyelamatkan mereka. Ke 10 murid yang kemudian diberi nama Laskar Pelangi oleh Bu Muslimah, menjalin kisah yang tak terlupakan.

Lima tahun bersama, Bu Mus, Pak Harfan dan kesepuluh murid dengan keunikan dan keistimewaannya masing masing, berjuang untuk terus bisa sekolah. Di antara berbagai tantangan berat dan tekanan untuk menyerah, Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian) dan Mahar (Veris Yamarno) dengan bakat dan kecerdasannya muncul sebagai pendorong semangat sekolah mereka.

Di tengah upaya untuk tetap mempertahankan sekolah, mereka kembali harus menghadapi tantangan yang besar. Namun, dengan berbagai cara mereka mampu melewati rintangan dan cobaan.

PENDIDIKAN KAUM MARGINAL DI INDONESIA

Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa banyak kesenjangan di dalam dunia pendidikan kita. Andrea dan Sembilan siswa SD Muhammadiyah di Belitung hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak masyarakat Indonesia yang tersubordinasi, yang tertindas, dan terbelenggu dalam masyarakat marginal. Sungguh ironis memang, walaupun wilayah Indonesia betigu luas dan mempunyai kekayaan alam yang sangat melimpah, tetapi yang kita jumpai justru berlawanan. Ketimpanngan strata sosial yang terjadi dalam masyarakat memperlihatkan kepada kita bahwasanya masih banyak sekali kemiskinan di Negara Indonesia. Bahkan di Indonesia cenderung ‘yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.

Suasana kontras seperti itu juga terdapat pada film ini, tepatnya di kampong Belitong. Di sini, terlihat sekali kesenjangan di dunia pendidikan dimana sekolah swasta yang dengan keterbatasannya ingin tetap berdiri, justru ditekan oleh pihak Negara, disuuh bubar dan sebagainya. Ini kurang adil, tidak semua anak mampu sekolah dengan biaya yang sangat mahal. Dengan adanya SD Muhammadiyah, anak-anak mempunyai harapan untuk tetap menuntut ilmu. Tetapi sekali lagi, kebijakan pemerintah Indoesia yang masih kurang terhadap kaum marginal mengakibatkan sekolah-sekolah pinggiran tidak atau kurang diperhatikan.

Jadi, menurut saya “Laskar Pelangi” dapat dikategorikan sebagai film dan novel pertama yang berani mengangkat masalah pendidikan kaum marginal. Semoga dapat menjadi renungan kita semua, kaum-kaum terdidik.

Problematika Pendidikan Bahasa

Pendekatan Komunikatif sebagai Alternatif Pengajaran Keterampilan Berbahasa

Berdasarkan realitas sosial, orang Indonesia pada umumnya dan para siswa khususnya tergolong dwibahasawan. Bahasa Indonesia dianggap sebagai B2 bagi sebagian besar rakyat Indonesia setelah bahasa ibu (BI). Walaupun pengajaran bahasa Indonesia dimulai sejak dini yaitu sejak taman kanak-kanak, namun ternyata masih terdapat banyak kesalahan dan persoalan dalam berbahasa Indonesia. Persoalan kebahasaan yang dihadapi dalam pengajaran bahasa Indonesia ialah adanya pengaruh Bl (bahasa daerah atau bahasa ibu) terhadap B2 (bahasa Indonesia atau bahasa yang dipelajari). Pengaruh itu ada yang berkaitan dengan tata bunyi, tata bentuk kata, dan ada pula yang berhubungan dengan tata kalimat.

Apabila diperhatikan dengan saksama, kesalahan-kesalahan yang dibuat siswa dapat dipilah dalam dua kategori, yaitu kategori kesalahan dalam bidang keterampilan dan kesalahan dalam bidang linguistik. Kesalahan yang berhubungan dengan keterampilan terjadi pada saat siswa menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Sedangkan kesalahan dalam bidang linguistik meliputi tata bunyi, tata bentuk kata, dan tata kalimat.

Kesalahan-kesalahan dalam berbahasa itu ada yang sistematis dan ada yang tidak sistematis. Dalam kaitannya dengan analisis kesalahan, yang disoroti adalah kesalahan yang bersifat sistematis. Kesalahan sistematis berarti kesalahan yang berhubungan dengan kompetensi. Kompetensi dalam pembicaraan ini adalah kemampuan pembicara atau penulis untuk melahirkan pikiran dan perasaannya melalui bahasa sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku. Bahasa yang digunakan itu berwujud kata, kalimat, dan makna yang mendukungnya. Kata dan kalimat berunsurkan bunyi-bunyi yang membedakan yang disebut fonem.

Memperhatikan penjelasan di atas, kesalahan yang perlu dianalisis mencakup tataran tata bunyi (fonologi), tata bentuk kata (morfologi) tata kalimat (sintaksis), dan tataran tata makna (semantik). Analisis kesalahan bidang tata bunyi berhubungan dengan kesalahan ujaran atau pelafalan. Analisis kesalahan dalam tata bentuk tentu saja kesalahan dalam membentuk kata terutarna pada afiksasi. Analisis kesalahan dalam bidang tata kalimat menyangkut urutan kata, kepaduan, susunan frase, kepaduan kalimat, dan logika kalimat. Dan yang berikutnya analisis kesalahan bidang semantik berkaitan dengan ketepatan penggunaan kata, frase atau kalimat yang didukung oleh makna baik makna gramatikal maupun makna leksikal.

Untuk mengatasi kesalahan-kesalahan berbahasa tersebut, guru dapat menggunakan pendekatan komunikatif. Pendekatan komunikatif yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada keaktifan siswa. Guru hanya bertindak sebagai fasilitator. Apabila siswa mengalami kesalahan dalam berbahasa, kesalahan tersebut dianggap sebagai sebuah kewajaran yang akan dipertanggungjawabkan oleh siswa itu sendiri. Hal ini dikarenakan pengaruh BI (bahasa ibu) terhadap penggunaan bahasa Indonesia tidak akan mudah hilang tanpa melalui proses belajar di sekolah.

Prinsip dasar pendekatan komunikatif yaitu bahwa belajar bahasa berarti belajar berkomunikasi, bukan mempelajari struktur, maupun bunyi atau kosakata secara terpisah. Tujuan utamanya adalah dapat menggunakan bahasa dengan baik dan benar sehingga dapat diterima oleh pendengar secara umum. Dengan menggunakan pendekatan komunikatif, siswa diharapkan dapat berkomunikasi secara efektif. Pengetahuan yang cukup memadai sangat diperlukan oleh seorang guru, lebih-lebih pengetahuan dan pemahaman tata bahasa.

Berdasarkan uraian di atas, maka pengajaran kesalahan berbahasa dengan menggunakan pendekatan komunikatif sangat tepat. Karena dengan belajar berkomunikasi dengan bahasa yang baik dan benar secara konsisten akan tercipta pola komunikasi yang baik pula. Bahkan pengaruh bahasa Ibu dapat berkurang sedikit demi sedikit dan pada akhirnya dapat hilang sama sekali.