Kajian Stilistika Terhadap Cerpen "Gerhana Mata" Karya Djenar Maesa Ayu

Kamis, 22 Juli 2010

Abstrak : Cerita pendek atau cerpen merupakan salah satu karya sastra yang habis dibaca sekali duduk. Menurut Soeharianto (1982: 39), cerpen adalah wadah yang biasanya dipakai oleh pengarang untuk menyuguhkan sebagian kecil saja dari kehidupan tokoh yang paling menarik perhatian pengarang. Salah satu cerpen yang sangat menarik untuk dikaji menggunakan analisis stilistika adalah cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu. Cerpen ini menarik untuk dikaji karena mengandung banyak majas (gaya bahasa) dan bahasa kiasan. Cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu mengandung gaya bahasa dan bahasa kiasan yang terdiri dari paralelisme, paradoks, hiperbola, personifikasi, metafora, dan simile. Gaya bahasa dan bahasa kiasan tersebut berfungsi memberikan efek estetis atau keindahan. Selain itu, dalam cerpen karya Djenar tersebut ditemukan persamaan rima. Hal ini menjadikan karya Djenar menjadi lebih hidup dan berbeda degan karya lainnya.

Kata Kunci : Cerita Pendek, Gaya Bahasa, Bahasa Kiasan.


I.LATAR BELAKANG
Cerita pendek atau cerpen merupakan salah satu karya sastra yang habis dibaca sekali duduk. Menurut Soeharianto (1982: 39), cerpen adalah wadah yang biasanya dipakai oleh pengarang untuk menyuguhkan sebagian kecil saja dari kehidupan tokoh yang paling menarik perhatian pengarang.

Menurut Soeharianto (1982) cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita tersebut atau sedikit tokoh yang terdapat di dalam cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk karya sastra itu. Jadi jenis cerita yang pendek belum tentu dapat digolongkan menjadi cerita pendek, jika ruang lingkup permasalahannya tidak memenuhi persyaratan sebagai cerpen.

Media yang digunakan oleh cerpen untuk menyampaikan pikiran pengarang adalah bahasa. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian atau konvensi dari masyarakat. Bahasa yang digunakan di dalam karya sastra cenderung menyimpang dari kaidah kebahasaan, bahkan menggunakan bahasa yang dianggap aneh atau khas. Penyimpangan penggunaan bahasa dalam karya sastra, menurut Riffaterre (dalam Supriyanto, 2009: 2) disebabkan oleh tiga hal yaitu displacing of meaning (pengganitan arti), dan creating of meaning (perusakan atau penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti).

Oleh karena banyak penyimpangan arti di dalam karya sastra, maka pengamatan atau pengkajian terhadap karya sastra (cerpen) khususnya dilihat dari gaya bahasanya sering dilakukan. Pengamatan terhadap karya sastra (cerpen) melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan dengan pengalaman bahasanya disebut sebagai analisis stilistika.
Salah satu cerpen yang sangat menarik untuk dikaji menggunakan analisis stilistika adalah cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu. Cerpen ini menarik untuk dikaji karena mengandung banyak majas (gaya bahasa) dan bahasa kiasan.

II.BIOGRAFI PENGARANG

Gerhana Mata merupakan buku yang ditulis oleh Djenar Maesa Ayu. Djenar biasa dipanggil Nai. Ia lahir di Jakarta, 10 Januari 1970. Djenar lahir dari keluarga seni. Kedua orangtuanya adalah tokoh perfilman Indonesia. Ayahnya adalah Sjumanjaya seorang sutradara terkemuka dan ibunya, Toeti Kirana aktris era 70-an yang terkenal. Dari beberapa penulis perempuan di Indonesia saat ini, nama Djenar Maesa Ayu sangat menonjol.

Pada awalnya Djenar menulis cerita pendek (cerpen), kemudian berpindah ke novel. Namanya semakin terkenal ketika ia melebarkan sayap ke dunia televisi dan layar lebar. Sekarang, ia telah menjadi sutradara lewat film yang diangkat dari karya cerpennya sendiri, “Mereka Bilang, Saya Monyet!”
Karya-karya Djenar Maesa Ayu:

a.Kumpulan Cerpen

1)Mereka Bilang, Saya Monyet!; kumpulan cerpen (2002)
2)Jangan Main-main dengan Kelaminmu; kumpulan cerpen (2003)
3)Cerita Pendek tentang Cerita yang Pendek; kumpulan cerpen (2006)
4)Naila; Novel(2005)

b.Novel

1)Ranjang; novel (segera terbit 2010)

c.Film

1)Mereka Bilang, saya monyet!

d.Televisi

1)Fenomena (TranTv, 2006)
2)Silat Lidah (Antv, 2007)

III.CERPEN

GERHANA MATA

Malam selalu memberi ketenangan. Banyak kenangan yang begitu mudah dikais dalam ruang-ruang kegelapan. Kenangan yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-ngacungkan telunjuknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir, di atas pembaringan tanpa kekasih yang tak akan hadir.
Banyak orang yang begitu takut pada malam. Pada gelap. Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba. Membuat jantung mereka berdegup lebih kencang. Membuat mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidak-tenangan itu dengan harga listrik walaupun harganya semakin tinggi menjulang.
Tapi saya selalu merasa malam memberi ketenangan. Semakin gelap semakin ramai. Hampir menyerupai pasar malam yang ingar bingar namun tanpa penerangan. Sehingga saya tak pernah merasa ketakutan. Tak pernah merasa tak tenang. Sepanjang mata memandang, hanyalah kegelapan. Tubuh kelihatan amat samar. Namun, suara-suara begitu jelas terdengar. Begitu dekat. Sedemikian dekat sehingga aroma napas si empunya suara itu di hidung terasa melekat. Mata saya mulai merapat, semakin gelap, semakin semuanya akhirnya begitu terang terlihat.

Mungkin karena itulah saya begitu membutuhkan cinta. Seperti malam. Seperti gelap. Cinta pun membutakan. Saya tidak butuh kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala. Saya tidak perlu menutup semua tirai dan pintu serta menyumbat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna. Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya.
Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang menamakannya cinta buta. Apa pun namanya saya tidak peduli. Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang ingin saya lihat. Dan hanya ialah yang saya ingin lihat, sang kekasih bak lentera benderang dalam kegulitaan pandangan mata saya. Dari sinarnyalah saya mendapatkan siang yang kami habiskan di ranjang-ranjang pondok penginapan. Saling menatap seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bertatapan. Saling menyentuh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bersentuhan. Dan melenguh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling mengeluarkan lenguhan.

Di saat-saat seperti itu, di kebutaan seperti itu, saya tak perlu meraba-raba. Tak pernah ada waktu untuk berpikir apa yang akan terjadi di hari esok. Apakah benar masih ada hari esok. Atau apakah masih perlu akan hari esok. Walaupun tidak jarang kebutaan yang memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia, seperti suara-suara ponsel yang berdering tak henti-hentinya, namun dengan seketika gerhana mata bekerja. Suara-suara ponsel yang mengganggu itu berubah menjadi suara lagu. Lembut mendayu-dayu. Tak saya sadari lagi ketika tubuhnya pelan-pelan memisah dan menjauh. Tak terdengar suaranya yang sengaja dibuat lirih ketika menjawab panggilan telepon dan mengatakan kalau ia sedang tidak ingin diganggu dengan alasan penyakit lambungnya tengah kambuh. Saya tetap merasakan tubuhnya melekat. Saya tetap mendengar suaranya melantunkan senandung yang membuat saya merasa itulah saat terindah untuk sekarat. Saya masih melihat matanya sedang menatap. Mata yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini yang berarti kecuali saya. Tidak ada apa pun di dunia ini yang lebih penting dari saya. Mata saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana. Semakin kabur. Semakin dalam ke muara cinta tubuh ini tercebur.
Kami hanya bertemu kala siang. Kala api rindu sudah semalaman memanggang. Kala segala garis maupun lekukan amat nyata terlihat dengan mata telanjang. Segala garis maupun lekukan itu selalu diikuti bayang-bayang. Dan dalam bayang-bayang itulah kami betemu dan bersatu. Di sanalah kami saling menjamu keinginan antara satu dengan yang satu.

Banyak yang mempertanyakan. Kenapa saya bertemu hanya kala siang? Kenapa tidak pagi atau malam? Karena buta, saya bilang. Dalam kebutaan saya bisa mengadakan apa pun yang saya inginkan. Tak terkecuali pagi. Tak terkecuali malam.

Banyak yang tambah mempertanyakan. Kenapa harus buta? Kenapa tidak menggunakan mata asli demi melihat pagi asli atau malam asli. Kenapa harus menciptakan buta yang tak asli? Karena cinta, saya bilang. Dalam cinta saya bisa merasakan segala sesuatunya asli, walaupun di kala pagi dan malam yang tak asli.

Terus terang, saya tidak pernah dapat memastikan apakah pertanyaan-pertanyaan itu asli. Kadang saya merasa pertanyaan-pertanyaan itu tidak datang dari orang-orang, melainkan datang dari diri saya sendiri. Sehingga saya pun tak dapat memastikan apakah jawaban saya asli. Karena tidak mungkin sesuatu yang asli lahir dari yang tak asli.

Namun lagi-lagi perasaan ini terasa asli. Walaupun kami hanya bertemu kala siang, atau kala pagi dan malam yang tak asli. Kalimat di bungkus kondom “ASLI, SERATUS PERSEN ANTI BOCOR” yang kami robek sebelum bercinta pun asli. Hangat kulitnya yang tak berjarak. Gerakan tubuhnya yang sebentar menarik sebentar menghentak. Bunyi ranjang berderak. Jantung keras berdetak. Suara yang semakin lama semakin serak, adalah asli. Membuat saya selalu merasa tak pernah cukup dan ingin mengulanginya kembali.

Saya tahu, saya akan bisa mengulanginya lagi. Tapi dengan satu konsekuensi. Harus mengerti statusnya sebagai laki-laki beristri. Bertemu kala siang, bukan kala pagi atau malam hari. Kala siang dengan durasi waktu yang amat sempit. Bukan kala pagi atau malam hari yang terasa amat panjang dalam penantian dan rindu yang mengimpit. Membuat saya kerap merasa terjepit. Antara lelah dan lelah. Antara pasrah dan pasrah. Saya terjebak dan berputar-putar pada dua pilihan yang sama. Saya jatuh cinta.

Andai saja saya bisa mendepak cinta dan menghadirkan logika, mungkin tak akan seperti ini saya tak berdaya. Mungkin suara-suara yang kerap menghantui dengan pertanyaan dan jawaban akan lain bunyinya. Mungkin malam akan membuat saya takut. Dan dengan tubuh lain ke dalam selimut saya akan beringsut. Juga tak akan ada siang di mana saya meradang dan menggelepar atas tubuh yang menyentuh di atas seprai kusut lantas terhenti oleh dering panggilan ponsel yang membuat satu-satunya fungsi pada tubuhnya yang mempersatukan tubuh kami jadi menciut.

Mungkin…

Mungkin satu saat nanti ia akan mengalami gerhana mata seperti saya. Dan kami bisa tinggal dalam satu dunia yang sama. Tak bertemu hanya kala siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa hanya bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta membutakan saya. Diganti dengan jawaban, karena cinta telah membutakan kami berdua.

Mungkin…

Enam tahun sudah waktu bergulir. Sejak kemarin, di jari manis kanan saya telah melingkar cincin dengan namanya terukir. Dalam kegelapan malam kedua mata ini menumpahkan air. Di atas pembaringan tanpa suami yang tetap tak akan hadir.


IV.PEMBAHASAN

Penelitian stilistika menaruh perhatian pada penggunaan bahasa dalam karya sastra. Persoalan yang menjadi fokus perhatian stilistika adalah pemakaian bahasa yang menyimpang dari bahasa sehari-hari, atau disebut bahasa khas dalam wacana sastra. Penyimpangan penggunaan bahasa bisa berupa penyimpangan terhaap kaidah bahasa, banyaknya pemakaian bahasa daerah, dan pemakaian bahasa asing atau unsur-unsur asing. Penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan tersebut diduga dilakukan untuk tujuan tertentu.

Pusat perhatian stilistika adalah penggunaan bahasa (gaya bahasa) secara literer dan sehari-hari. Sebagai stylist, seseorang harus mampu menguasai norma bahasa pada masa yang sama dengan bahasa yang dipakai dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa juga diarahkan oleh bentuk karya sastra yang ingin dihasilkan. Misalnya, gaya penataan prosa fiksi (cerpen) berbeda dengan gaya penataan bentuk puisi. Dalam cerpen, selain fokus dalam alur cerita, penulis dapat menggunakan gaya bahasa dan bahasa kiasan agar cerpen yang dihasilkan lebih hidup dan menarik pembaca.

Salah satu cerpen yang sarat dengan gaya bahasa dan bahasa kiasan adalah Cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu. Hampir semua barisnya menggunakan kata kiasan sehingga pembaca diajak untuk menikmati kalimat demi kalimat, bukan hanya menikmati alur ceritanya saja. Gaya bahasa dan bahasa kiasan yang terdapat di dalam cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu antara lain Paralelisme, paradoks, hiperbola, simile, metafora, dan personifikasi.

a.Gaya Bahasa

(1)Paralelisme

Paralelisme merupakan gaya bahasa yang mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Gaya bahasa paralelisme yang terkandung di dalam cerpen Gerhana Mata antara lain:

Paragraf ke-2
..... . Membuat mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidaktenangan itu dengan harga listrik .... .

Paragraf ke-5
.... . Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang saya lihat. ....

Paragraf ke-6
.... Saya tetap merasakan tubuhnya melekat. Saya tetap mendengar suranya melantunkan senandung ....

..... Semakin kabur. Semakin dalam ke muara cinta tubuh ini tercebur.

Paragraf ke-13
.... . Mungkin suara-suara yang kerap menghantui dengan pertanyaan dan jawaban akan lain bunyinya. Mungkin malam akan membuat saya takut. ...

Paragraf ke-15
..... Tak bertemu hanya kala siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa hanya bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta membutakan saya. ....

Pada cerpen karya Djenar tersebut ditemukan empat gaya bahasa paralelisme. Gaya bahasa ini biasanya digunakan penulis sebagai penekanan makna, bahwa si tokoh benar-benar merasakan pengalaman hal itu lebih dari pengalaman yang lainnya.

(2)Paradoks

Paradoks adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebenarnya tidak apabila dicermati dan dipikir dengan sungguh-sungguh.

Paragraf ke-3
Hampir menyerupai pasar yang ingar bingar namun tanpa penerangan.

Paragraf ke-6
Saya tetap mendengar suaranya melantunkan senandung yang membuat saya merasa itulah saat terindah untuk sekarat.

(3)Hiperbola

Hiperbola merupakan gaya bahasa yang melebih-lebihkan suatu hal. Pada cerpen Gerhana Mata juga ditemukan beberapa gaya bahasa hiperbola.

Paragraf ke-4
Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya.

Paragraf ke-6
Mata saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana.


b.Bahasa Kiasan

Di samping gaya bahasa, Djenar Maesa Ayu juga menggunakan bahasa kiasan untuk menekankan makna dan mempertahankan unsur estetis. Bahasa kiasan yang terdapat pada cerpen tersebutada beberapa bahasa kiasan di antaranya:

(1)Simile

Simile adalah basa kiasan yang mennyamakan satu hal dengan hal lain dengan kata-kata pembanding. Bahasa kiasan Simile terdapat pada:

Paragraf ke-2
Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba.

Paragraf ke-6
.... suara-suara dari luar dunia, seperti suara ponsel yang berdering tak henti-hgentinya......

Mata yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini selain saya.


(2)Metafora

Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding. Bahasa kiasan metafora yang terdapat pada cerpen Gerhana Mata antara lain:

Paragraf ke-4
Saya tidak membutuhkan kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala.

Paragraf ke-5
Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata.

Paragraf ke-6
Walaupun tidak jarang kebutaan yang memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia.

Paragraf ke-7
Kala api rindu, sudah semalaman memanggang.


(3)Personifikasi

Personifikasi merupakan bahasa kiasan yang mempersamakan benda mati dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Bahasa Kiasan Personifikasi dalam cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu terdapat pada:

Paragraf ke-1
.... Kenangan yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-acungkan telunjukknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir .... .

Paragraf ke-4
.... Saya tidak perlu menutup semua pintu dan tirai dan pintu serta membuat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna.


Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam membuat cerpen, Djenar Maesa Ayu sangat memperhatikan nilai estetisnya sehingga banyak ditemukan gaya bahasa dan bahasa kiasan. Selain itu, dalam cerpen karya Djenar tersebut juga ditemukan beberapa rima yang sama. Hal ini membuat karya Djenar berbeda dengan cerpen lainnya. Karena biasanya rima ditemukan dalam karya yang bergenre puisi. Persamaan rima itu ditemukan di dua paragraf yang berbeda, yaitu:


Paragraf ke-6
.... Semakin kabur. Semakin dalam muara cinta ini tercebur.

Paragraf ke-12
.... Kala siang dengan durasi waktu yang sangat sempit. Bukan kala pagi atau malam hari yang terasa amat panjang dalam pennantian dan rindu yang menghimpit. Membuat saya merasa sangat terjepit.

Dari kedua contoh di atas, dapat dilihat bahwa rima yang sama adalah rima [ur] dan [pit]. Kedua pengulangan rima ini biasanya digunakan oleh pengarang untuk mempertegas arti dan menjelasan suasana secara jelas. Di samping itu penggunaan rima yang sama dapat memberikan efek keindahan, sehingga menjadikan cerpen Gerhana Mata berbeda dari cerpen-cerpen yang lain.

V.SIMPULAN

Cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu mengandung gaya bahasa dan bahasa kiasan yang terdiri dari paralelisme, paradoks, hiperbola, personifikasi, metafora, dan simile. Gaya bahasa dan bahasa kiasan tersebut berfungsi memberikan efek estetis atau keindahan. Selain itu, dalam cerpen karya Djenar tersebut ditemukan persamaan rima. Hal ini menjadikan karya Djenar menjadi lebih hidup dan berbeda degan karya lainnya.

VI.DAFTAR PUSTAKA

Ayu, Djenar Maesa. 2007. Gerhana Mata. (online)(http://cerpenkompas.wordpress.comdi akses 20 Mei 2007 pukul 14:17).

Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.

Supriyanto, Teguh. 2009. Stilistika dalam Prosa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

0 komentar: