Laskar Pelangi, Sebuah Potret Pendidikan Kaum Marginal di Indonesia

Rabu, 07 April 2010

(Analisis terhadap film Laskar Pelangi yang merupakan adaptasi novel “Laskar Pelangi” karya Andrea Hinata).

Pertama kali saya meihat cuplikan film “Laskar Pelangi” di layar kaca beberapa bulan yang lalu, terbersit di benak saya bahwa film Laskar Pelangi merupakan angin segar bagi perfilman Indonesia. Tema yang diusung pun sangat apik, menyentuh dan sangat dekat dengan kehidupan orang-orang yang terpinggirkan atau istilah lainnya adalah kaum marginal. Pikiran dan hati saya semakin melambung ketika di situ digambarkan ada sebuah sekolah yang sangat sederhana, bahkan dapat dibilang sangat memprihatinkan. Sebelumnya saya tidak tahu banyak tentang alur cerita tersebut, hingga pada akhirnya saya menonton sendiri film tersebut dari awal hingga akhir.

Pertama menonton, saya menangkap sebuah kesederhanaan dan keriangan dari anak-anak kecil yang tinggal di pulau. Tempat tersebut jauh dari kemewahan, kebisingan, namun sarat dengan kedamaian. Nuansa pendidikan begitu kental, pelajaran hidup mengalir lewat laku dan dialog para tokoh.

Alur demi alur pun saya lewati dengan penuh pengharapan bahwa film ini akan benar-benar konsisten dengan temanya yaitu pendidikan. Dan ternyata, lebih dari itu. Saya menemukan banyak sekali pengalaman hidup yang dikemas dengan rapi, amanat yang tersirat dan tersurat yang begitu menyentuh hati, bahkan seolah-olah saya mendapatkan kembali ruh saya, jiwa saya, kemerdekaan saya, dan kegigihan saya yang sempat hilang oleh polemik kehidupan.

Melihat senyum dan mendengar tawa dari anak-anak laskar pelangi, membuat saya semangat. Dan yang paling mengejutkan adalah ketika ada sebuah kegiatan karnaval. Anak-anak menawarkan sebuah kesenian yang sangat- sangat sederhana dan apa adanya dibandingkan dengan kelompok yang lain. Saya benar-benar kagum dengan penulis novel ini, yang berani dan mampu mengangkat tema pendidikan ke tengah maraknya film percintaan, horror, dan film-film yang kurang bermutu hadir di tengah-tengah masyarakat.

Untuk menunjukkan kekaguman dan penghargaan saya tehadap film dan novel ‘Laskar Pelangi’ ini, maka saya menyebutnya bahwa film Laskar Pelangi merupaka film yang sangat ‘berani’ dan mampu menyuguhkan potret pendidikan kaum marginal di Indonesia.

LASKAR PELANGI

Laskar Pelangi merupakan sebuah novel karya Andrea Hirata yang mengisahkan kisah nyata tentang sepuluh anak kampung di Pulau Belitong, Sumatera. Mereka bersekolah di sebuah SD yang bangunannya nyaris rubuh dan kalau malam jadi kandang ternak. Sekolah itu nyaris ditutup karena muridnya tidak sampai sepuluh sebagai persyaratan minimal.

Keberuntungan atau lebih tepatnya takdir, rupanya masih berpihak pada sepuluh anak kampung Pulau Belitong ini. Sebelum sekolah ini ditutup, ada salah satu siswa yang bernama Harun mendaftarkan diri. Akhirnya, sekolah ini tetap eksis dan bisa terus melanjutkan pendidikannya untuk anak-anak Belitong. Sungguh permasalahan pelik, di saat manusia membutuhkan pendidikan, banyak rintangan menghampiri. Pendidikan menjadi barang mewah yang harus diperjuangkan. Mau belajar saja harus mengantri terlebih dahulu.Inilah kisah nyata atau lebih tepatnya wajah lain dari birokrasi pendidikan di Indonesia yang masih kurang peduli pada kaum pinggiran.

Novel tersebut kemudian di film-kan dengan judul yang sama “Laskar Pelangi” dan tetap dengan menggunakan setting tahun 70-an.

PERJUANGAN ANAK-ANAK LASKAR PELANGI

Di dalam film “Laskar Pelangi” ini diceritakan bagaimana anak-anak kampung miskin di Pulau Belitong itu berjuang dengan gigihnya agar dapat belajar walaupun dalam keadaan yang terbatas. Mereka bersekolah tanpa alas kaki, baju tanpa kancing, atap sekolah yang bocor jika hujan, dan papan tulis yang berlubang hingga terpaksa ditambal dengan poster Rhoma Irama.

Tetapi, mereka tidak putus asa. Mereka terus berjuang. Hari pertama pembukaan kelas baru di sekolah SD Muhammadyah menjadi sangat menegangkan bagi dua guru luar biasa, Muslimah (Cut Mini) dan Pak Harfan (Ikranagara), serta 9 orang murid yang menunggu di sekolah yang terletak di desa Gantong, Belitong. Sebab kalau tidak mencapai 10 murid yang mendaftar, sekolah akan ditutup.

Hari itu, Harun, seorang murid istimewa menyelamatkan mereka. Ke 10 murid yang kemudian diberi nama Laskar Pelangi oleh Bu Muslimah, menjalin kisah yang tak terlupakan.

Lima tahun bersama, Bu Mus, Pak Harfan dan kesepuluh murid dengan keunikan dan keistimewaannya masing masing, berjuang untuk terus bisa sekolah. Di antara berbagai tantangan berat dan tekanan untuk menyerah, Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian) dan Mahar (Veris Yamarno) dengan bakat dan kecerdasannya muncul sebagai pendorong semangat sekolah mereka.

Di tengah upaya untuk tetap mempertahankan sekolah, mereka kembali harus menghadapi tantangan yang besar. Namun, dengan berbagai cara mereka mampu melewati rintangan dan cobaan.

PENDIDIKAN KAUM MARGINAL DI INDONESIA

Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa banyak kesenjangan di dalam dunia pendidikan kita. Andrea dan Sembilan siswa SD Muhammadiyah di Belitung hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak masyarakat Indonesia yang tersubordinasi, yang tertindas, dan terbelenggu dalam masyarakat marginal. Sungguh ironis memang, walaupun wilayah Indonesia betigu luas dan mempunyai kekayaan alam yang sangat melimpah, tetapi yang kita jumpai justru berlawanan. Ketimpanngan strata sosial yang terjadi dalam masyarakat memperlihatkan kepada kita bahwasanya masih banyak sekali kemiskinan di Negara Indonesia. Bahkan di Indonesia cenderung ‘yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.

Suasana kontras seperti itu juga terdapat pada film ini, tepatnya di kampong Belitong. Di sini, terlihat sekali kesenjangan di dunia pendidikan dimana sekolah swasta yang dengan keterbatasannya ingin tetap berdiri, justru ditekan oleh pihak Negara, disuuh bubar dan sebagainya. Ini kurang adil, tidak semua anak mampu sekolah dengan biaya yang sangat mahal. Dengan adanya SD Muhammadiyah, anak-anak mempunyai harapan untuk tetap menuntut ilmu. Tetapi sekali lagi, kebijakan pemerintah Indoesia yang masih kurang terhadap kaum marginal mengakibatkan sekolah-sekolah pinggiran tidak atau kurang diperhatikan.

Jadi, menurut saya “Laskar Pelangi” dapat dikategorikan sebagai film dan novel pertama yang berani mengangkat masalah pendidikan kaum marginal. Semoga dapat menjadi renungan kita semua, kaum-kaum terdidik.

0 komentar: