8 bulan 3 pekan 5 hari
-
Dzuriatku sayang, tak terasa hampir sembilan bulan kau di rahimku. Merasai
gerakanmu yang aktif di rahim ibu, tak sabar rasanya ingin segera
mendekapmu cin...
Tujuan Penelitian Pendidikan
Sabtu, 06 November 2010
I. PENGERTIAN DAN TUJUAN PENELITIAN SECARA UMUM
Penelitian secara umum diartikan sebagai penerapan pendekatan ilmiah pada pengkajian suatu masalah. Secara umum, penelitian bertujuan untuk menemukan jawaban terhadap persoalan yang signifikan, melalui prosedur-prosedur ilmiah (Rachman, 1993:13). Sedangkan menurut Sukmadinata (2009:5), penelitian adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data yang dilakukan secara sistematis dan logis untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuannya adalah untuk mengembangkan pengetahuan, mengembangkan dan menguji teori.
Berdasarkan pendapat Rachman dan Sukmadinata di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data yang dilakukan secara sistematis dan logis pada pengkajian suatu masalah.
Sugiyono dalam bukunya yang berjudul “Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R & D” (2009:3) mengemukakan bahwa setiap penelitian mempunyai tujuan dan kegunaan tertentu. Secara umum tujuan penelitian ada tiga macam yaitu yang bersifat penemuan, pembuktian, dan pengembangan. Penemuan berarti data yang diperoleh dari penelitian itu adalah data yang betul-betul baru yang sebelumnya belum pernah diketahui. Pembuktian berarti data yang diperoleh itu dipergunakan untuk membuktikan adanya keragu-raguan terhadap informasi atau pengetahuan tertentu, dan pengembangan berarti memperdalam dan memperluas pengetahuan yang telah ada.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan umum penelitian adalah untuk menemukan, membuktikan, dan mengembangkan suatu persoalan atau pengetahuan dengan menggunakan prosedur-prosedur ilmiah.
II. PENELITIAN PENDIDIKAN
Menurut Sugiyono (2007:7), jenis-jenis penelitian dibedakan menjadi lima kategori, yaitu berdasarkan bidangnya, tujuannya, metodenya, tingkat eksplanasinya, dan waktunya. Sedangkan peneltian pendidikan termasuk jenis penelitian berdasarkan bidangnya.
Penelitian pendidikan merupakan suatu kegiatan yang diarahkan kepada pengembangan pengetahuan ilmiah tentang kejadian-kejadian yang menarik perhatian pendidikan (Rachman, 1993:13). Secara umum tujuan penelitian pendidikan adalah untuk menemukan prinsip-prinsip umum, atau penafsiran tingkah laku yang dapat dipakai untuk menerangkan, meramalkan, dan mengendalikan kejadian-kejadian dalam lingkungan pendidikan (Rachman, 1993:13).
Ada beberapa jenis penelitian pendidikan, diantaranya adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas menurut Lembaga Pengembangan Pendidikan Profesi (LP3) Universitas Negeri Semarang (2007:9-11) adalah suatu bentuk inkuiri atau penelitian yang dilakukan melalui refleksi diri. Tujuan melakukan penelitian tindakan kelas adalah meningkatkan dan atau memperbaiki praktik pembelajaran yang seharusnya dilakukan oleh guru. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan melakukan berbagai tindakan alternatif dalam memecahkan persoalan pembelajaran di kelas.
Menurut Suyanto dan Hasan dalam Kasbolah (2001:21) tujuan penelitian tindakan kelas adalah untuk meningkatkan (1) Kualitas praktik pembelajaran di sekolah, (2) relevansi pendidikan, (3) mutu hasil pendidikan, dan (4) efisiensi pengelolaan pendidikan.
Sedangkan menurut Ditjen Dikti dalam Subyantoro (2009:89) tujuan penelitian pendidikan sebagai berikut:
1) Meningkatkan mutu isi, masukan, proses, dan hasil pendidikan dan pembelajaran di sekolah;
2) Membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya mengatasi masalah pembelajaran dan pendidikan di dalam dan luar kelas;
3) Meningkatkan sikap professional pendidik dan tenaga kependidikan;
4) Menumbuhkembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah dan LPTK, sehingga tercipta sikap proaktif di dalam melakukan perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran secara berkelanjutan (sustainable);
5) Meningkatkan keterampilan pendidik dan tenaga kependidikan khususnya di sekolah dalam melakukan PBT;
6) Meningkatkan kerjasama professional di antara pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah dan LPTK.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka tujuan dari penelitian tindakan kelas adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas praktik pembelajaran di sekolah.
Selain penelitian tindakan kelas, penelitian pendidikan juga dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode atau pendekata, misalnya penelitian pendidikan dengan pendekatan kualitatif, kuantitatif, R & D, dan sebagainya. Jika penelitian pendidikan menggunakan pendekatan kuantitatif maka tujuannya adalah untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Jika penelitiannya menggunakan pendekatan kualitatif maka tujuannya adalah untuk menemukan hipotesis/teori (Sugiyono, 2007:38). Sedangkan jika penelitiannya menggunakan pendekatan R & D tujuannya untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2007:407). Tujuan penelitian pendidikan dengan pendekatan R & D (Researc and Development) secara spesifik dalam bidang pendidikan Menurut Wahab (2002) adalah untuk mengembangkan dan memvalidasi produk-produk pendidikan seperti: model-model kurikulum dan pembenaran, media pendidikan, model pengelolaan pendidikan, model bimbingan dan penyuluhan, evaluasi praktikum, dan sejenisnya.
Selain beberapa jenis penelitian pendidikan di atas, Muhadjir (1998:5) mengemukakan bahwa berdasarkan lingkup penelitian pendidikan terdapat lingkup penelitian pada tingkat kebijakan pendidikan. Untuk melakukan penelitian pada tingkat kebijakan ini dapat dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian kebijakan. Tujuan penelitian kebijakan adalah untuk mengaitkan penelitian dengan nilai yang hendak diperjuangkan atau mengaitkan dengan keputusan-keputusan yang hendak direalisasikan.
III. TAHAP-TAHAP PENELITIAN PENDIDIKAN
Tahap-tahap penelitian pendidikan banyak ragamnya, bergantung pada pendekatan yang digunakan. Sebagaimana tujuan penelitian pendidikan, tahap-tahap penelitian pendidikan dapat diuraikan secara umum.
Tahap-tahap penelitian pendidikan secara umum menurut Sutrisno Hadi dalam Rachman (1993:31-32) antara lain:
(1) Perumusan permasalahan
(2) Penelaahan pustaka
(3) Pengajuan hipotesis
(4) Penentuan variabel
(5) Penyusunan rancangan penelitian
(6) Penentuan populasi dan sampel
(7) Pengumpulan data
(8) Penarikan simpulan
(9) Penyiapan laporan
Secara khusus, tahap-tahap penelitian pendidikan berbeda-beda bergantung jenis dan pendekatan yang digunakan. Misalnya, penelitian tindakan kelas (PTK) langkah-langkah atau tahap-tahap penelitiannya berbeda dengan tahap-tahap penelitian pendidikan secara umum.
Lembaga Pengembangan Pendidikan Profesi (LP3) Universitas Negeri Semarang (2007:12-13) mengemukakan bahwa untuk melakukan penelitian tindakan kelas (PTK), guru harus mengawali dengan mengidentifikasi masalah dilanjutkan dengan merumuskan masalah yang akan dicari solusinya. Cara untuk mengidentifikasi masalah dapat dilakukan dengan melakukan refleksi terhadap hal-hal yang telah dilakukan untuk pembelajaran. Masalah dapat berasal dari keadaan kelas secara umum atau lebih khusus dari kelas tempat guru mengajar. Setelah masalah ditemukan, guru dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Perencanaan
Dalam tahap perencanaan guru atau peneliti membuat rincian operasional mengenai tindakan-tindakan yang akan dilakukan; menentukan siapa saja yang akan dilibatkan dalam PTK ini; tentukan siapa, akan mengerjakan apa, dan kapan dilaksanakan; alat bantu ppengumpul data apa saja yang harus dipersiapkan dan apa saja serta dari siapa saja informasi akan diperoleh, dan sebagainya.
2) Tindakan
Tindakan (action) merupakal langkah pelaksanaan dari perencanaan.
3) Pengamatan
Pada waktu melakukan tindakan, dilakukan pengamatan secara rinc dan teliti, lakukan pencatatan dan bila perlu perekaman.
4) Refleksi
Langkah akhir dari PTK adalah melakukan refleksi (kajian atau analisis) terhadap apa yang telah dilakukan pada waktu tindakan. Dalam analisis dapat diuraikan seberapa efektif perubahan yang terjadi? Apa yang menjadi penghambat perubahan? Bagaimana memperbaikai perubahan-perubahan yang dibuat dan sebagainya.
Setelah melakukan refleksi, biasanya muncul permasalahan baru atau pemikiran baru, sehingga merasa perlu perencanaan ulang, tindakan ulang, pengamatan ulang dan refleksi ulang. Demikian langkah-langkah kegiatan terus berulang sehingga membentuk siklus kedua, ketiga, dan sebagainya.
Berbeda dengan penelitian pada umumnya dan penelitian pendidikan jenis lainnya, penelitian tindakan kelas (PTK) mempunyai keunikan yaitu adanya pengulangan pada tahap pengumpulan data. Pengulangan kegiatan penelitian itu dilakukan apabila kegiatan pertama dirasa belum menghasilkan perubahan tetapi justru menimbulkan permasalahan atau pemikiran baru. Pengulangan kegiatan itu disebut siklus.
Subyantoro dalam bukunya “Penelitian Tindakan Kelas Edisi Revisi” sangat menekankan siklus tersebut dengan mengutip pendapatnya Tripp. Menurut Tripp siklus dalam penelitian tindakan kelas disebut sebagai siklus AR. Sedangkan LP3 UNNES dan Kasbolah tidak membuat rincian secara detail mengenai siklus tersebut.Oleh karena itu, menurut saya pendapat Tripp dalam Subyantoro (2009) sangat tepat untuk dijadikan pedoman penelitian tindakan kelas. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat di tarik simpulan bahwa tahap-tahap penelitian tindakan kelas adalah:
1. Pertama, mengidentifikasi masalah
2. Kedua, merumuskan masalah
3. Ketiga, setelah masalah ditemukan kemudian guru atau peneliti melakukan langkah-langkah penelitian dengan menggunakan siklus AR, meliputi:
a. Perencanaan
b. Tindakan
c. Pengamatan
d. Refleksi
Keempat langkah tersebut merupakan Siklus I. Jika keempat langkah tersebut telah dilakukan dan menimbulkan permasalahan atau pemikiran baru, guru atau peneliti melakukan langkah berikutnya yang kemudian dinamakan Siklus II dan seterusnya sampai perubahan dan peningkatan dalam praktik pembelajaran tercapai.
Penelitian pendidikan selain dapat digunakan untuk mengetahui atau meningkatkan pratik pembelajaran di sekolah, juga dapat digunakan untuk meneliti kebijakan pendidikan. Penelitian ini biasanya dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian kebijakan.
Adapun tahap-tahap penelitian kebijakan menurut Muhadjir, dkk. (1998:6-15) yaitu:
Pertama, penulisan latar belakang atau perumusan tujuan atau permasalahan penelitian atau skopa penelitian dilanjutkan dengan perumusan masalah dan keterbatasan telaah penelitian.
Kedua, penyusunan kerangka teoretik.
Ketiga, tahap telaah metodologik. Pada tahap ini ditelaah tentang populasi (wilayah maupun subjek penelitian), dilanjutkan dengan telaah teknik pengambilan sampel. Pada tahap ini juga disusun instrument pengumpulan data.
Keempat, tahap pengumpulan data.
Kelima, tahap klasifikasi, tabulasi, dan perekaman data.
Keenam, tahap analisis.
Ketujuh, tahap pembuatan simpulan.
Kedelapan, tahap ‘memberi makna’, dikaitkan dengan “issues”, karena dikaitkan para eksekutif dapat hanyut pada kecenderungan perhatian mayarakat, mengabaikan hal ideal yang perlu dicapai.
Upaya pemberian makna atas hasil simpulan penelitian ini dikaitkan dengan “Issues” (diambil dari pustaka barat), atau pada ideologi atau pada konsep ideal; dilanjutkan dengan pembobotan dan penyajian alternatif-alternatif.
Kesembilan, tahap rekomendasi bagi pengambil keputusan. Disusun prioritas pilihan dan pembobotannya, dikaitkan dengan berbagai faktor, seperti tersedianya dana, jangka waktu, dan faktor-faktor lain.
Tahap pertama sampai dengan tahap ketujuh merupakan tahap-tahap penelitian pada umumnya, sedangkan kedelapan dan kesembilan merupakan tambahan yang mencari ciri pokok penelitian kebijakan.
Penelitian pendidikan juga dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan R & D (Research and Development). Walaupun jenis penelitiannya sama yaitu penelitian bidang pendidikan, namun penelitian dengan pendekatan R & D ini mempunyai tahap-tahap yang berbeda dengan penelitian pendidikan pada umumnya, penelitian tindakan kelas, dan penelitian kebijakan seperti yang telah diuraikan di atas.
Penelitian R & D dalam bidang pendidikan digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk-produk pendidikan seperti: model-model kurikulum dan pembelajaran, media pendidikan, model pengelolaan pendidikan, model bimbingan dan penyuluhan, evaluasi praktikum dan sejenisnya (Wahab, 2002).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik simpulan bahwa tahap-tahap penelitian pendidikan secara garis besar atau secara umum antara lain:
1. Mengidentifikasi masalah.
2. Merumuskan masalah.
3. Menyusun kerangka teoretik.
4. Telaah metodologik.
5. Pengumpulan data.
6. Klasifikasi, tabulasi, dan perekaman
7. Analisis
8. Membuat simpulan
9. Menyusun laporan
Kesembilan tahap tersebut harus dilakukan pada semua jenis penelitian pendidikan, kecuali pada penelitian kebijakan. Pada penelitian tindakan kelas, teknik pengumpulan data dilakukan dalam beberapa siklus dan setiap siklus mempunyai tahapan sendiri. Sedangkan pada penelitian R & D ada tahap yang dinamakan uji lapangan model dan uji validasi.
Oleh karena itu, sebelum melalukan penelitian pendidikan hendaknya peneliti memahami dulu jenis dan pendekatan yang akan digunakan, kemudian baru melakukan penelitian dengan tahap-tahap sesuai dengan jenis dan pendekatan tersebut agar hasil yang akan dicapai tepat sasaran.
IV. Daftar Pustaka
Kasbolah, Kasihani. 2001. Penelitian Tindakan Kelas. Malang: Universitas Negeri Malang.
Muhadjir, Noeng, dkk. 1998. Metodologi Penelitian Kebijakan Telaah Cross Disiplin. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Panitia Sertifikasi Guru Rayon 12. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Bahan Ajar. Universitas Negeri Semarang.
Rachman, Maman. 1993. Strategi dan Langkah-langkah Penelitian Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Subyantoro. 2009. Penelitian Tindakan Kelas Edisi Revisi. Semarang: Universitas Diponegoro.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandunng: Alfabeta.
Sukmadinata, Nana syaodih. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wahab, Aziz. Memahami Arah dan Kecenderungan Penelitian pada program Pascasarjana Universitas Pendidikan. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Program Pascasarjana UPI, 13 Juni 2002.
Label:
Bahasa dan Sastra,
Pendidikan
Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum dalam Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia
I. PENDAHULUAN
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS menetapkan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang brdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan Nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam penjelasan, telah ditetapkan strategi pembaharuan pendidikan tentunya dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Strategi tersebut meliputi: 1. Pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia; 2. Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi; 3. Proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis; 4. Evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan dan memberdayakan; 5. Peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan; 6. Penyediaan sarana belajar yang mendidik; 7. Pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan; 8. Penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata; 9. Pelaksanaan wajib belajar; 10. Pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; 11. Pemberdayaan peran masyarakat; 12. Pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan 13. Pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.
Dengan tiga belas strategi tersebut jika konsisten pelaksanaannya sungguh merupakan upaya besar bangsa Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan. Namun, dalam makalah ini penulis hanya akan membahas pengembangan dan pelaksanaan kurikulum sebagai sarana peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
II. MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA
a. Mutu Pendidikan di Indonesia
Dewasa ini semakin terasa adanya keluhan-keluhan yang menyatakan mundurnya mutu pendidikan di tanah air dan semakin terasa kurangnya lapangan kerja yang menampung lulusan pendidikan yang mengakibatkan semakin banyaknya pengangguran.
Hal tersebut senada dengan pendapat Indratno (2007:vii), berbicara tentang sistem pendidikan Indonesia sebenarnya berbicara tentang karut marut permasalahan dari hulu sampai hilir. Dunia pendidikan kita tidak segera beranjak membaik, bahkan semakin memprihatinkan. Sekolah ambruk, gedung rusak, minimnya sarana pendidikan, minimnya gaji guru, lulusan yang tidak berkualitas, kurikulum yang tidak jelas orientasinya, diskriminasi dalam pendidikan, RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan) dan sebagainya masih menjadi berita hangat di media massa. Pemerintah pun merespon, serta mencari solusinya dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, misalnya dengan meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berbasis kompetensi, manajemen yang berbasis sekolah, otonomi sekolah, dan sebagainya. Namun, seringkali kebijakan tersebut justru semakin membuat runyam dan menjauhkan diri dari maksud baik untuk mencari solusi perbaikan.
Berdasarkan uraian di atas, maka menurut penulis pemerintah perlu segera mengambil tindakan aktif sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia, agar masyarakat Indonesia tumbuh menjadi masyarakat yang berbudaya, berkembang sesuai dengan perkembangan IPTEK, dan siap menyongsong globalisasi.
b. Solusi Perbaikan untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan di Indonesia.
Ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Cara-cara tersebut antara lain:
1. Sistem pendidikan disesuaikan dengan pasar kerja yang tersedia saat ini.
2. Sistem pendidikan disusun dengan tujuan untuk memenuhi lapangan kerja.
3. Sistem pendidikan disusun dengan menyesuaikan perkembangan ilmu-ilmu baru, membina progam pendidikan dan mengembangkan teknologi.
III. KURIKULUM DI INDONESIA
Kurikulum adalah konten atau isi pelajaran yang akan diajarkan atau dipelajari peserta didik (Ansyar, 1989). Sedangkan Pasal 1 butir 9 UUSPN menyebutkan bahwa:
“Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara kegiatan belajar mengajar.”
Pasal 27 UUSPN menyebutkan bahwa:
“Kurikulum disusun untuk tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.”
Menurut Tambunan dalam buku “Kurikulum untuk Abad ke-21” (1994:332) kurikulum mempunyai komponen, antaralain: (1) tujuan, (2) isi, (3) Metode atau teknik menyampaikan dalam proses belajar mengajar, dan (4) evaluasi program kurikulum itu. Sedangkan landasan-landasan kurikulum adalah: (1) filosofis (pancasila), (2) psikologis, (3) sosiologis/kemasyarakatan, (4) organisasi kurikulum itu sendiri, yang menurut pasal 38 perlu disesuaikan dengan situasi dan keadaan lingkungan setempat dan nasional.
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran yang akan diajarkan atau dipelajari oleh peserta didik, yang mempunyai komponen-komponen dan landasan-landasan tertentu.
Sedangkan kurikulum di Indonesia mempunyai karakteristik dan tujuan yang berbeda pada setiap jenjang pendidikan. Perbedaan itu antara lain:
1. Pendidikan dasar di Indonesia bertujuan untuk mencapai tujuan kemasyarakatan (social reconstruction/social adaptation) dan akademik.
2. Pendidikan menegah di Indonesia bertujuan mencapai tujuan kemasyarakatan dan akademik atau vocasional.
3. Pendidikan tinggi di Indonesia bertujuan mencapai tujuan kemasyarakatan dan akademik.
IV. PENGEMBANGAN DAN PELAKSANAAN KURIKULUM DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
Pengembangan kurikulum tidak dapat lepas dari berbagai aspek kehidupan dan factor-faktor yang mempengaruhinya, mulai dari pemikiran sampai pada pelaksanaannya, agar kurikulum itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik.
Pengembangan kurikulum dimulai dengan suatu proses perencanaan, yaitu menetapkan berbagai kebutuhan, mengadakan identifikasi tujuan dan sasaran, menyusun periapan dan pelaksanaan penyajian yang sesuai dengan segala persyaratan kebudayaan, sosial, dan pribadi. Oleh karena itu, perencanaan kurikulum harus disertai dengan analisis yang bertalian dengan berbagai akibat pendekatan-pendekatan yang dilakukan sebelum penyajian tersebut dilaksanakan. Dalam perencanaan kurikulum, terjadi suatu proses pengembangan misi berdasarkan nilai-nilai pengembangan kebijakan; menetapkan tujuan, sasaran dan standar; memilih aktivitas belajar; menjamin implementasi yang tepat, mengadakan peninjauan kembali dan siap melakukan revisi bila ternyata terjadi kesalahan.
Pengembangan kurikulum di Indonesia telah terjadi berkali-kali. Hal ini bertujuan agar kurikulum yang digunakan pada sekolah-sekolah mampu menghasilkan produk pendidikan yang unggul, menguasai IPTEK, berdasarkan IMTAK, dan siap bersaing dengan dunia luar.
Pengembangan kurikulum yang pertama terjadi pada tahun 1994, yaitu munculnya kurikulum 1994 yang merupakan hasil penyesuaian kurikulm 1984. Pada masa itu terjadi penyederhanaan kurikulum. Penyederhanaan dilakukan pada jumlah mata pelajaran, bahasa yang sederhana (mudah dipahami guru) dan istilah baku (sesuai dengan format perundang-undangan) dan format GBPP (Karyadi dalam buku “Kurikulum untuk Abad ke-21”, 1994:60).
Selanjutnya dilakukan pengembangan lagi yaitu kurikulum 1994 dikembangkan menjadi kurikulum 2004 yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) memfokuskan pada kompetensi tertentu, berupa paduan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dapat didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya. Penerapan kurikulum berbasis kompetensi memungkinkan para guru menilai hasil belajar peserta didik dalam proses pencapaian sarana belajar, yang mencerminkan penguasaan dan pemahaman terhadap apa yang dipelajari (Mulyasa, 2004:61).
Depdiknas (2002) melukiskan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi sebagai berikut:
Setelah KBK dilaksanakan, ternyata tantangan dunia pendidikan belum terjawab semua. Oleh karena itu, pemerintah menyempurnakan kurikulum 2004 (KBK) menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pada tahun 2006. KTSP sangat meluaskan partisipasi kretaif guru, pengelola sekolah, dan murid dalam proses belajar mengajar berdasarkan suatu rumusan kompetensi yang telah ditetapkan. KTSP dimaksudkan agar kurikulum dapat disesuaikan dengan kemampuan sekolah, sehingga dapat meminimalisasikan kendalan dalam proses KBM.
Berdasarkan uraian di atas, maka ada pengaruh yang sangat kuat antara penyusunan kurikulum dengan mutu pendidikan. Maka dari itu, hendaknya pemerintah sangat berhati-hati dan mempertibangkan berbagai aspek dalam penyusunan kurikulum agar mutu pendidikan terus meningkat sesuai dengan arus globalisasi.
V. SIMPULAN
Berdasarkan uraian pada pembahasan maka simpulan yang dapat dipaparkan dalam makalah ini adalah :
Mutu pendidikan di Indonesia masih rendah, dan kurangnya lapangan pekerjaan yang menampung lulusan pendidikan menyebabkan tingginya tingkat pengangguran.
Pengembangan dan pelaksanaan pendidikan nasional harus disesuaikan dengan pasar kerja, memenuhi lapangan kerja, dan sesuai dengan perkembangan IPTEK.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan mengembangkan kurikulum.
Di Indonesia telah terjadi beberpa kali pengembangan kurikulum, diantaranya kurikulum 1984 dikembangkan menjadi kurikulum 1994, kemudian dikembangkan lagi mejadi kurikulum 2004 (KB), dan disemprnakan pada kurikulum 2006 (KTSP) yang sedang dilaksanakan sekarang ini.
VI. Daftar Pustaka
Konvensi Nasional Pendidikan Indonesa II. 1994. Kurikulum untuk Abad ke-21. Jakarta: Grasindo.
Ansyar, Muhammad. 1989. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Depdikbud.
Indratno, A. Ferry T. 2007. Kurikulum yang Mencerdaskan Visi 2030 dan Pendidiklan Alternatif. Jakarta: Kompas.
Mulyasa, E. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakteristik, Implementasi dan Inovasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.
Label:
Bahasa dan Sastra,
Pendidikan
Artikel tentang Modalitas dan Macam-macamnya
I. Latar Belakang
Kalimat adalah satuan bahasa terkecil dalam wujud lisan atau tulisan yang mengungkapkan suatu pikiran yang utuh (Alwi, 1998). Oleh karena itu, kalimat dapat dilihat sebagai satuan dasar dalam suatu wacana atau tulisan. Suatu wacana dapat terbentuk jika ada minimal dua buah kalimat yang letaknya berurutan dan sesuai dengan aturan-aturan wacana.
Suatu pernyataan merupakan kalimat jika di dalam pernyataan itu sekurang-kurangnya terdapat predikat dan subjek, baik disertai objek, pelengkap, atau keterangan maupun tidak, bergantung kepada tipe verba predikat kalimat tersebut. Suatu untaian kata yang tidak memiliki predikat disebut frasa. Untuk menentukan predikat suatu kalimat, dapat dilakukan pemeriksaan apakah ada verba (kata kerja) dalam untaian kata itu. Selain verba, predikat suatu kalimat dapat pula berupa adjektiva dan nomina.
Dalam bentuk lisan, unsur subjek dan predikat itu dipisahkan jeda yang ditandai oleh pergantian intonasi. Relasi antar kedua unsur ini dinamakan relasi predikatif, yaitu relasi yang memperlihatkan hubungan subjek dan predikat. Di dalam sebuah kalimat terdapat pula suatu keterangan yang disebut modalitas. Modalitas berhubungan dengan sikap pembicara. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam makalah ini akan diuraikan pengertian modalitas dan macam-macamnya.
II. Modalitas
a. Pengertian Modalitas
Modalitas adalah keterangan dalam kalimat yang menyatakan sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan, yakni mengenai perbuatan, keadaan, peristiwa, atau sikap terhadap lawan bicaranya. Sikap ini dapat berupa pernyataan, kemungkinan, kinginan, atau keizinan. Dalam bahasa Indonesia modalitas dinyatakan secara leksikal (Chaer, 1994: 162).
Modalitas (modality) menurut Hasanudin dkk. (2009: 772) adalah:
1) Klasifikasi proposisi menurut hal menyuguhkan atau mengingkari kemungkinan atau keharusan;
2) Cara pembicara menyatakan sifat terhadap suatu situasi dalam suatu komunikasi antarpribadi;
3) Makna kemungkinan, keharusan, kenyataan, dan sebagainya yang dinyatakan dalam kalimat; dalam Bahasa Indonesia modalitas dinyatakan seperti barangkali, harus, akan, dsb. Atau denga adverbia kalimat seperti pada hakikatnya menurut hemat saya, dsb.
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa keterangan modalitas menunjukka sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan, terhadap pendengar, terhadap lingkungan yang dibicarakan, atau gabungan antara hal-hal itu sendiri. Sedangkan secara eksplisit biasanya modalitas itu terdiri atas sebuah kalimat (Samsuri, 1985: 245).
Perhatikan contoh berikut:
(a) i. Anak itu belajar bahasa.
ii. Aku pikir (Anak itu belajar bahasa) baik.
iii.Aku pikir baik anak itu belajar bahasa.
iv.Sebaiknya anak itu belajar bahasa.
(b) i. Orang hidup mesti bekerja.
ii. Itu (orang hidup mesti bekerja) hemat saya.
iii.Hemat saya orang hidup mesti bekerja.
iv.Hemat saya orang hidup mesti bekerja.
Kalimat (ii) pada kedua contoh di atas merupakan “sikap” pembicara. Kalimat (iii) merupakan gabungan ‘sikap itu’ dengan ‘apa yang dibicarakan’. Oleh karena itu, secara implisit dinyatakan sikap pembicara itu mengungkapkan apa yang dipahaminya pada sebuah kalimat. Sedangkan pada kalimat (iv), sikap pembicara pada umumnya diungkapkan oleh kata atau frasa modalitas saja.
Perhatikan pula pemakaian kata itu dalam kalimat-kalimat (ii). Kata itu dalam kalimat-kalimat (ii) mengacu ke seluruh kalimat (i). Hal ini menguatkan anggapan bahwa pemakaian kata itu secara metafora, yaitu mengacu kembali ke sebuah kalimat (atau frasa) sebelumnya.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa modalitas atau M merupakan sikap pembicara. Oleh karena itu, M biasanya tedapat pada bagian depan kalimat, meskipun ada pula yang terdapat di bagian tengah.
b. Macam-macam Modalitas
Modalitas dalam Bahasa Indonesia dibagi menjadi lima, yaitu modalitas intensional, epistemik, deontik, dinamik, dan aletis.
(1) Modalitas Intensional
Modalitas intensional merupakan modalitas yang menyatakan keinginan, harapan, permintaan, atau ajakan. Modalitas ini ditandai dengan unsur leksikal seperti ingin, mau, tolong, mari, ayo, dan silakan.
Contoh:
Saya ingin segera lulus S3 di UNNES.
Dinar mau membeli baju baru.
Tolong dibawakan LCD ke ruang kuliah kita.
Mari, masuk!
Ayo kita sukseskan program keluarga berencana.
Silakan dicicipi hidangan khas Pekalongan ini.
(2) Modalitas Epistemik
Modalitas epistemik adalah modalitas yang menyatakan kemungkinan, kepastian, dan keharusan. Modalitas ini ditandai dengan unsur leksikal seperti mungkin, bisa jadi, belum pasti, dan harus.
Contoh:
Dia mungkin tidak bisa datang besok pada khitanan anak kita.
Bisa jadi anak itu sempat terjatuh karena badannya biri-biru.
Kami pasti datang pada pesta pernikahan itu, jangan khawatir!
Dia belum pasti datang karena kesibukannya.
Makalah ini harus buat sebagai salah satu syarat kelulusan.
(3) Modalitas Deontik
Modalitas deontik adalah modalitas yang menyatakan keizinan atau keperkenanan. Unsur penandanya adalah unsur leksikan seperti izin dan perkenan.
Contoh:
Saya mohon izin tidak mengajar karena anak saya sakit.
Atas perkenan beliaulah saya dapat mengajar di tempat ini.
(4) Modalitas Dinamik
Modalitas dinamik adalah modalitas yang menyatakan kemampuan. Unsur penandanya bisa berupa unsur leksikal bisa, dapat, dan mampu.
Contoh:
Kami semua bisa menjawab soal itu dengan benar.
Semua orang sebenarnya dapat menabung jika mau.
Dinaria mampu mengangkat kopernya yang berat itu.
(5) Modalitas Aletis
Modalitas Aletis adalah modalitas yang bersangkutan dengan keperluan. Penandanya unsur leksikal harus.
Contoh:
Makalah ini harus dikumpulkan secepatnya, kalau tidak akan menghambat kelulusan.
Selain pendapat di atas, ada beberapa pendapat mengenai macam-macam modalitas. Pendapat lain mengatakan bahwa modal epistemik dalam karakteristik non teknis tidak lebih mudah dari pada mode aletik. Secara prinsip ada dua macam model epistemik yang dapat dibedakan: obyektif dan subyektif. Hal ini bukanlah perbedaan yang dapat dibedakan dengan jelas dalam pemakaian bahasa sehari-hari; dan justifikasi epistemologinya untuk menyatakan ketidakpastiannya.
Di bawah ini adalah ppernyataan yang menggambarkan perbedaan antara modal epistemik subjektif dengan modal epistemik objektif:
(1) Alfred mungkin belum menikah.
(2) Alfred pasti belum menikah.
Interpretasi dari pembicara pada kalimat (1) adalah menyatakan ketidakyakinannya. Apabila yang dimaksud demikian, mungkin pembicara akan menambah kata-kata seperti dibawah ini:
(3) Tetapi aku tidak mempercayai hal itu, atau
(4) Dan aku tidak yakin apa yang aku pikirkan tentang dia itu benar.
Kalimat tersebut jelas mengindikasikan subjektifitas pembicara. Berdasarkan hal itu, maka perbedaan modal epistemik subjektif dan epistemik objektif secara teori bisa dipertahankan, apabila hal ini adalah pemikiran yang terus dikembangkan, di satu pihak terletak pada modal aletik dan dilain pihak terletak pada modal epistemik sunjektif, dan kemungkinan keduanya berasimilasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa modal epstemik objektif merupakan prinsip yang bisa terukur dalam skala kebutuhan dan ketidak mungkinan.
III. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka simpulan makalah ini adalah:
1. Modalitas merupakan keterangan dalam kalimat yang menunjukkan sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan.
2. Modalitas dibagi menjadi lima, yaitu modalitas intensioal, epistemik, deontik, dinamik, dan aletis.
IV. Daftar Pustaka
Alwi, Hasan. 1998. Tata Bahasa Baku Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abdul. 1999. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Samsuri. 1985. Tata Kalimat Bahasa Indonesia. Malang: Sastra Hudaya.
W. S., Hasanuddin. 2009. Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia. Bandung: Angkasa.
Label:
Bahasa,
Bahasa dan Sastra
Mengaktifkan Kelas dengan 'Bola Pertanyaan'
Rabu, 20 Oktober 2010
Kemampuan bertanya menunjukkan pikiran yang selalu ingin tahu dan merupakan tanda dari pembelajar yang baik. Mengajak pembelajar bertanya terhadap materi yang baru saja diajarkan akan berpengaruh positif pada pembelajaran mereka. Kebanyakan orang dalam kebudayaan kita secara tidak sadar dikondisikan untuk percaya bahwa banyak bertanya berarti bodoh. Pada kenyataannya tidak.
Tidak hanya itu, kita seringkali menyaksikan pembelajaran di kelas dimonopoli oleh guru. Meskipun metode pembelajaran yang dianjurkan sekarang adalah kontekstual, akan tetapi masih banyak guru yang menggunakan cara atau metode konvensional (guru aktif siswa pasif). Sehingga kelas terasa kaku dan pasif. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya kurangnya pengetahuan guru tentang metode pembelajaran yang tepat.
Salah satu metode pembelajaran yang paling sederhana adalah metode bertanya. Dengan bertanya siswa menjadi lebih aktif dan memungkinkan untuk menyerap pelajaran lebih banyak daripada ketika siswa bersikap pasif. Ada beberapa teknik bertanya yang dapat digunakan dalam pembelajaran. Salah satunya adalah ‘teknik bola pertanyaan’.
Teknik “Bola Pertanyaan” dapat dilakukan dengan memberikan selembar kertas kosong kepada setiap siswa. Tiap-tiap siswa diminta menuliskan pertanyaan dengan huruf kapital di kertas tersebut tanpa menuliskan nama, kemudian meremasnya menjadi seperti bola. Setelah selesai, bola pertanyaan itu kemudian dikumpulkan menjadi satu ke dalam sebuah keranjang. Setelah terkumpul bola pertanyaan dilemparkan ke semua siswa. Setelah semua siswa mendapatkan bola pertanyaan, mereka wajib menjawab pertanyaan yang diterimanya. Setelah beberapa menit, mintalah setiap orang membaca pertanyaan mereka di depan kelas dan memberi jawabannya. Guru sebagai fasilitator dan siswa lain dapat mengomentari bila diperlukan.
Teknik “Bola Pertanyaan” tersebut selain dapat merangsang anak untuk berpikir, juga dapat mencairkan kebekuan kelas. Sehingga kelas menjadi aktif dan menyenangkan.
(Karatika Eka Okirianti, S.S)
Label:
Bahasa dan Sastra,
Pendidikan
Pengertian Wacana dan Macam-macamnya
Pengertian wacana dapat dilihat dari berbagai segi. Dari segi sosiologi, wacana menunjuk pada hubungan konteks sosial dalam pemakaian bahasa, sedangkan dari segi linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Di samping itu, Hawthorn (1992) juga mengemukakan pengertian wacana merupakan komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya. Sedangkan Roger Fowler (1977) mengemukakan bahwa wacana adalah komunikasi lisan dan tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang termasuk di dalamnya.
Menurut Alwi dkk (2003: 419) wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain dan membentuk satu kesatuan. Alwi juga menyatakan bahwa untuk membicarakan sebuah wacana dibutuhkan pengetahuan tentang kalimat dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kalimat.
Wacana menurut Kridalaksana dalam Kamus Linguistik Edisi Ketiga (1993: 231) adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb). Kridalaksanan membagi wacana menjadi empat yaitu:
(1) Wacana langsung (direct speech, direct discourse)
Wacana langsung adalah wacana yang sebenarnya dibatasi oleh intonasi atau pungtuasi.
Contoh: Salim berkata, “Saya akan datang.”
(2) Wacana pembeberan (expository discourse)
Wacana pembeberan adalah wacana yang tidak mementingkan waktu dan penutur, berorientasi pada pokok pembicaraan, dan bagian-bagiannya diikat secara logis.
(3) Wacana penuturan (narrative discourse)
Wacana penuturan adalah wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu, berorientasi pada pelaku, dan seluruh bagiannya diikat oleh kronologi.
(4) Wacana tidak langsung (indirect discourse)
Wacana tidak langsung adalah pengungkapan kembali wacana tanpa mengutip secara harfiah kata-kata yang dipakai oleh pembicara, mempergunakan konstruksi gramatikal atau kata tertentu, antara lain klausa subordinatif, kata bahwa, dan sebagainya.
Contoh: Salim berkata bahwa ia akan datang.
Arifin dkk. (2008: 103-104) mengemukakan pendapatnya bahwa wacana yang utuh mempunyai kesinambungan informasi di antara kalimat-kalimat di dalamnya sehingga membentuk informasi yang utuh.
Contoh :
(1) “Kekerapan pemakaian sebuah kata hampir tidak dapat diramalkan karena hal itu amat bergantung pada perkembangan kebutuhan dan cita rasa masyarakat pemakainya. Bisa jadi sebuah kata yang dulu amat kerap digunakan, kini hampir tak terdengar lagi dan pada masa yang akan datang mungkin kata itu akan hilang dari pemakaian”.
(2) “Perubahan orientasi dari budaya lisan ke budaya tulis hampir tidak terelakkan lagi pada masa sekarang ini. Bahasa Indonesia haruslah tidak boleh kehilangan identitasnya sebagai bahasa bangsa. Orientasi itu dapat menimbulkan kontak dalam bahasa tulis. Jadi, ciri-ciri khas bahasa Indonesia tetap harus dipertahankan. Akibatnya, ragam bahasa tulis akan banyak diwarnai oleh konta dalam ragam itu.”
Contoh paragraf (1) di atas merupakan sebuah wacana yang utuh karena subjek hal itu pada klausa anak kalimat pada kalimat pertama telah menghubungkan klausa itu dengan klausa pertama karena hal itu mengacu pada kekerapan pemakaian kata yang terdapat pada klausa pertama. Kalimat kedua menjelaskan informasi pada kalimat pertama, yakni sebuah kata dulu kerap dipakai, kini hampir tak terdengar, dan nanti kembali kerap terdengar atau sama sekali hilang dari pemakaian.
Contoh (2) bukan sebuah wacana karena kalimat-kalimat di dalamnya tidak menunjukkan adanya keterpautan bahasa ataupun kesinambungan informasi. Setiap kalimat pembentuknya berdiri sendiri, tidak memiliki hubungan semantis di antara proposisi yang terdapat pada kalimat lainnya. Dengan demikian contoh (2) lebih tepat jika dinamakan kumpulan kalimat (bukan sebuah wacana).
Sedangkan, menurut J.S. Badudu (2000) wacana yaitu rentetan kalimat yang ‘berkaitan dengan’, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa wacana merupakan kesatuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi dan berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, serta dapat disampaikan secara lisan dan tertulis.
Mills (1994) mengemukakan pengertian wacana berdasarkan pendapat Foucault bahwa wacana dapat dilihat dari level konseptual teoretis, konteks penggunaan, dan metode penjelasan.
(1) Berdasarkan level konseptual teoretis, wacana diartikan sebagai domain dari semua pernyataan, yaitu semua ujaran atau teks yang mempunyai makna dan mempunyai efek dalam dunia nyata.
(2) Wacana menurut konteks penggunaannya merupakan sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori konseptual tertentu.
(3) Sedangkan menurut metode penjelasannya, wacana merupakan suatu praktik yang diatur untuk menjelaskan sejumlah pernyataan.
Di samping beberapa pendapat di atas, Leech juga mengemukakan pendapatnya mengenai wacana. Menurut Leech, wacana dapat dibedakan berdasarkan fungsi bahasa, saluran komunikasinya, dan cara pemaparannya.
(1) Berdasarkan fungsi bahasa
a. Wacana ekspresif, apabila wacana itu bersumber pada gagasan penutur atau penulis sebagai sarana ekspresi, seperti wacana pidato;
b. Wacana fatis, apabila wacana itu bersumber pada saluran untuk memperlancar komunikasi, seperti wacana perkenalan pada pesta;
c. Wacana informasional, apabila wacana itu bersumber pada pesan atau informasi, seperti wacana berita dalam media massa;
d. Wacana estetik, apabila wacana itu bersumber pada pesan dengan tekanan keindahan pesan, seperti wacana puisi dan lagu;
e. Wacana direktif, apabila wacana itu diarahkan pada tindakan atau reaksi dari mitra tutur atau pembaca, seperti wacana khotbah.
(2) Berdasarkan saluran komunikasinya, wacana dapat dibedakan atas; wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan memiliki ciri adanya penutur dan mitra tutur,bahasa yang dituturkan, dan alih tutur yang menandai giliran bicara. Sedangkan wacana tulis ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang dituliskan dan penerapan sistem ejaan.
(3) Wacana dapat pula dibedakan berdasarkan cara pemaparannya, yaitu wacana naratif, wacana deskriptif, wacana ekspositoris, wacana argumentatif, wacana persuasif, wacana hortatoris, dan wacana prosedural.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang terlengkap yang mempunyai kohesi dan koherensi dan berkaitan dengan konteks tertentu, yang dapat disampaikan secara lisan (wacana lisan) dan tertulis (wacana tulis).
Menurut Alwi dkk (2003: 419) wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain dan membentuk satu kesatuan. Alwi juga menyatakan bahwa untuk membicarakan sebuah wacana dibutuhkan pengetahuan tentang kalimat dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kalimat.
Wacana menurut Kridalaksana dalam Kamus Linguistik Edisi Ketiga (1993: 231) adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb). Kridalaksanan membagi wacana menjadi empat yaitu:
(1) Wacana langsung (direct speech, direct discourse)
Wacana langsung adalah wacana yang sebenarnya dibatasi oleh intonasi atau pungtuasi.
Contoh: Salim berkata, “Saya akan datang.”
(2) Wacana pembeberan (expository discourse)
Wacana pembeberan adalah wacana yang tidak mementingkan waktu dan penutur, berorientasi pada pokok pembicaraan, dan bagian-bagiannya diikat secara logis.
(3) Wacana penuturan (narrative discourse)
Wacana penuturan adalah wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu, berorientasi pada pelaku, dan seluruh bagiannya diikat oleh kronologi.
(4) Wacana tidak langsung (indirect discourse)
Wacana tidak langsung adalah pengungkapan kembali wacana tanpa mengutip secara harfiah kata-kata yang dipakai oleh pembicara, mempergunakan konstruksi gramatikal atau kata tertentu, antara lain klausa subordinatif, kata bahwa, dan sebagainya.
Contoh: Salim berkata bahwa ia akan datang.
Arifin dkk. (2008: 103-104) mengemukakan pendapatnya bahwa wacana yang utuh mempunyai kesinambungan informasi di antara kalimat-kalimat di dalamnya sehingga membentuk informasi yang utuh.
Contoh :
(1) “Kekerapan pemakaian sebuah kata hampir tidak dapat diramalkan karena hal itu amat bergantung pada perkembangan kebutuhan dan cita rasa masyarakat pemakainya. Bisa jadi sebuah kata yang dulu amat kerap digunakan, kini hampir tak terdengar lagi dan pada masa yang akan datang mungkin kata itu akan hilang dari pemakaian”.
(2) “Perubahan orientasi dari budaya lisan ke budaya tulis hampir tidak terelakkan lagi pada masa sekarang ini. Bahasa Indonesia haruslah tidak boleh kehilangan identitasnya sebagai bahasa bangsa. Orientasi itu dapat menimbulkan kontak dalam bahasa tulis. Jadi, ciri-ciri khas bahasa Indonesia tetap harus dipertahankan. Akibatnya, ragam bahasa tulis akan banyak diwarnai oleh konta dalam ragam itu.”
Contoh paragraf (1) di atas merupakan sebuah wacana yang utuh karena subjek hal itu pada klausa anak kalimat pada kalimat pertama telah menghubungkan klausa itu dengan klausa pertama karena hal itu mengacu pada kekerapan pemakaian kata yang terdapat pada klausa pertama. Kalimat kedua menjelaskan informasi pada kalimat pertama, yakni sebuah kata dulu kerap dipakai, kini hampir tak terdengar, dan nanti kembali kerap terdengar atau sama sekali hilang dari pemakaian.
Contoh (2) bukan sebuah wacana karena kalimat-kalimat di dalamnya tidak menunjukkan adanya keterpautan bahasa ataupun kesinambungan informasi. Setiap kalimat pembentuknya berdiri sendiri, tidak memiliki hubungan semantis di antara proposisi yang terdapat pada kalimat lainnya. Dengan demikian contoh (2) lebih tepat jika dinamakan kumpulan kalimat (bukan sebuah wacana).
Sedangkan, menurut J.S. Badudu (2000) wacana yaitu rentetan kalimat yang ‘berkaitan dengan’, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa wacana merupakan kesatuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi dan berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, serta dapat disampaikan secara lisan dan tertulis.
Mills (1994) mengemukakan pengertian wacana berdasarkan pendapat Foucault bahwa wacana dapat dilihat dari level konseptual teoretis, konteks penggunaan, dan metode penjelasan.
(1) Berdasarkan level konseptual teoretis, wacana diartikan sebagai domain dari semua pernyataan, yaitu semua ujaran atau teks yang mempunyai makna dan mempunyai efek dalam dunia nyata.
(2) Wacana menurut konteks penggunaannya merupakan sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori konseptual tertentu.
(3) Sedangkan menurut metode penjelasannya, wacana merupakan suatu praktik yang diatur untuk menjelaskan sejumlah pernyataan.
Di samping beberapa pendapat di atas, Leech juga mengemukakan pendapatnya mengenai wacana. Menurut Leech, wacana dapat dibedakan berdasarkan fungsi bahasa, saluran komunikasinya, dan cara pemaparannya.
(1) Berdasarkan fungsi bahasa
a. Wacana ekspresif, apabila wacana itu bersumber pada gagasan penutur atau penulis sebagai sarana ekspresi, seperti wacana pidato;
b. Wacana fatis, apabila wacana itu bersumber pada saluran untuk memperlancar komunikasi, seperti wacana perkenalan pada pesta;
c. Wacana informasional, apabila wacana itu bersumber pada pesan atau informasi, seperti wacana berita dalam media massa;
d. Wacana estetik, apabila wacana itu bersumber pada pesan dengan tekanan keindahan pesan, seperti wacana puisi dan lagu;
e. Wacana direktif, apabila wacana itu diarahkan pada tindakan atau reaksi dari mitra tutur atau pembaca, seperti wacana khotbah.
(2) Berdasarkan saluran komunikasinya, wacana dapat dibedakan atas; wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan memiliki ciri adanya penutur dan mitra tutur,bahasa yang dituturkan, dan alih tutur yang menandai giliran bicara. Sedangkan wacana tulis ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang dituliskan dan penerapan sistem ejaan.
(3) Wacana dapat pula dibedakan berdasarkan cara pemaparannya, yaitu wacana naratif, wacana deskriptif, wacana ekspositoris, wacana argumentatif, wacana persuasif, wacana hortatoris, dan wacana prosedural.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang terlengkap yang mempunyai kohesi dan koherensi dan berkaitan dengan konteks tertentu, yang dapat disampaikan secara lisan (wacana lisan) dan tertulis (wacana tulis).
Label:
Bahasa,
Bahasa dan Sastra
Bidal-bidal Prinsip Kesantunan Menurut Leech
Kamis, 22 Juli 2010
Menurut Leech prinsip kesantunan didasarkan pada kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah itu tidak lain adalah bidal-bidal atau pepatah yang berisi nasihat yang harus dipatuhi agar tuturan penutur memenuhi prinsip kesantunan. Secara lengkap Leech mengemukakan prinsip kesantunan yang meliputi enam bidal berdasarkan subbidalnya sebagai berikut:
a.Bidal ketimbangrasaan (tact maxim)
(1) Minimalkan biaya kepada pihak lain!
(2) Maksimalkan keuntungan kepada pihak lain!
b. Bidal kemurahhatian (generosity maxim)
(1) Minimalkan keuntungan kepada diri sendiri!
(2) Maksimalkan keuntungan kepada pihak lain!
c. Bidal keperkenaan (approbation maxim)
(1) Minimalkan penjelekan kepada pihak lain!
(2) Maksimalkan pujian kepada orang lain!
d. Bidal kerendahhatian (modesty maxim)
(1) Minimalkan pujia kepada diri sendiri!
(2) Maksimalkan penjelekan kepada diri sendiri!
e. Bidal kesetujuan (aggreement maxim)
(1) Minimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dan pihak lain!
(2) Maksimalkan kesetujuan antara diri sendiri dan pihak lain!
f. Bidal kesimpatian (sympathy maxim)
(1) Minimalkan antipati antara diri sendiri dan pihak lain!
(2) Maksimalkan simpati antara diri sendiri dan pihak lain!
Keenam bidal menurut Leech di atas dapat dilihat penjelasannya di bawah ini:
a.Bidal Ketimbangrasaan
Bidal ketimbangrasaan di dalam prinsip kesantunan memberikan petunjuk bahwa pihak lain di dalam tuturan hendaknya dibebani biaya seringan-ringannya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya.
Contoh:
(1) A : Mari saya masukkan surat anda ke kotak pos.
B : Jangan, tidak usah!
(2) A : Mari saya masukkan surat anda ke kotak pos.
B : Ni, itu baru namanya teman.
Di dalam tingkat kesantunan tuturan (1) B berbeda dari tuturan (2) B. Hal itu demikian karena tuturan (1) B meminimalkan biaya dan memaksimalkan keuntungan pada mitra tutur. Sementara itu, tuturan (2) B sebaliknya, yaitu memaksimalkan keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan kerugian kepada mitra tutur.
b.Bidal Kemurahhatian
Nasihat yang dikemukakan di dalam bidal kemurahhatian adalah bahwa pihak lain di dalam tuturan hendaknya diupayakan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, sementara itu diri sendiri atau penutur hendaknya berupaya mendapatkan keuntungan yang sekecil-kecilnya. Tutuan yang biasanya mengungkapkan bidal kemurahhatian ini adalah tuturan ekspresif dan tuturan asertif.
Contoh:
(1) A : Pukulanmu sangat keras.
B : Saya kira biasa saja, Pak.
(2) A : Pukulanmu sangat keras.
B : Siapa dulu?
Tuturan (1) B mematuhi bidal kemurahhatian, sedangkan tuturan (2) B melanggarnya. Hal ini dikarenakan tuturan (1) B itu memaksimalkan keuntungan kepada pihak lain dan meminimalkan keuntungan kepada diri sendiri. Sementara itu, tuturan (2) B sebaliknya; memaksimalkan keuntungan kepada diri sendiri dan meminimalkan keuntungan kepada pihak lain.
c.Bidal Keperkenaan
Bidal keperkenanaan adalah petunjuk untuk meminimalkan penjelekan terhadap pihak lain dan memaksimalkan pujian kepada pihak lain.
Contoh:
(1) A : Mari Pak, seadanya!
B : Terlalu banyak, sampai-sampai saya susah memilihnya.
(2) A : Mari Pak, seadanya!
B : Ya, segini saja nanti kan habis semua.
Tuturan (1) B mematuhi bidal keperkenaan karena penutur meminimalkan penjelekan terhadap pihak lain dan memaksimalkan pujian kepada pihak lain itu. (2) B melanggar bidal ini karena meminimalkan penjelekan kepada diri sendiri dan memaksimalkan pujian kepada diri sendiri. Dengan penjelasan itu, tingkat kesantunan tuturan (1) B lebih tinggi jika dibandingkan dengan tuturan (2) B.
d.Bidal Kerendahhatian
Nasihat bidal ini bahwa penutur hendaknya meminimalkan pujian terhadap diri sendiri dan memaksimalkan penjelekkan kepada diri sendiri. Bidal ini dimaksudkan sebagai upaya merendahhatian – bukan merendahdiriakan – penutur agar tidak terkesan sombong.
Contoh:
(1)Saya ini anak kemarin, Pak.
(2)Maaf, saya ini orang kampung.
(3)Sulit bagi saya untuk dapat meniru kehebatan Bapak.
Tuturan (1), (2), dan (3) di atas merupakan tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan bidal kerendahhatian ini. Hal ini dikarenakan tuturan-tuturan itu memaksimalkan penjelekkan kepada diri sendiri dan meminimalkan pujian kepada diri sendiri.
e.Bidal Kesetujuan
Bidal kesetujuan adalah bidal di dalam prinsip kesantunan yang memberikan nasehat untuk meminimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dan pihak lain dan memaksimalkan kesetujuan antara diri sendiri dan pihak lain.
Contoh:
(1) A : Bagaimana kalau lemari ini kita pindah?
B : Boleh.
(2) A : Bagaimana kalau lemari ini kita pindah?
B : Saya setuju sekali.
Tuturan (1) B dan (2) B merupakan tuturan yang meminimalkan ketidaksetujuan dan memaksimalkan kesetujuan antara diri sendiri sebagai penutur dengan pihak lain sebagai mitra tutur. Dibandingkan dengan tuturan (1) B, tuturan (2) B lebih memaksimalkan kesetujuan. Karena itu derajat kesopanannya lebih tinggi tuturan (2) B daripada tuturan (1) B.
f.Bidal Kesimpatian
Bidal yang meminimalkan antipati antara diri sendiri dan pihak lain dan memaksimalkan simpati antara diri sendiri dan pihak lain.
Berikut ini merupakan contoh tuturan yang sejalan dengan bidal kesimpatian.
Contoh:
(1)Saya ikut berduka cita atas meninggalnya ibunda.
(2)Saya benar-benar ikut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Ibunda tercinta.
Dikatakan sejalan karena tuturan di atas meminimalkan antipati dan memaksimalkan simpati antara penutur dan mitra tuturnya. Dengan demikian tuturan (1) dan (2) tersebut merupakan tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan bidal kesimpatian. Derajat pematuhan terhadap bidal kesimpatian oleh tuturan (2) lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diperankan oleh tuturan (1). Sedangkan tuturan (3) dan (4) berikut merupakan tuturan yang melanggar prinsip kesimpatian.
(3) A : Pak, Ibu saya meninggal.
B : Semua orang akan meninggal.
(4) A : Pak, Ibu saya meninggal.
B : Tumben.
Tuturan (3) B dan (4) B melanggar bidal kesimpatian karena tidak meminimalkan antipati dan tidak memaksimalkan kesimpatian antara diri sendiri dan orang lain. Dengan demikian, kedua tuturan itu merupakan tuturan yang kurang simpati atau santun.
Sumber: Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press.
a.Bidal ketimbangrasaan (tact maxim)
(1) Minimalkan biaya kepada pihak lain!
(2) Maksimalkan keuntungan kepada pihak lain!
b. Bidal kemurahhatian (generosity maxim)
(1) Minimalkan keuntungan kepada diri sendiri!
(2) Maksimalkan keuntungan kepada pihak lain!
c. Bidal keperkenaan (approbation maxim)
(1) Minimalkan penjelekan kepada pihak lain!
(2) Maksimalkan pujian kepada orang lain!
d. Bidal kerendahhatian (modesty maxim)
(1) Minimalkan pujia kepada diri sendiri!
(2) Maksimalkan penjelekan kepada diri sendiri!
e. Bidal kesetujuan (aggreement maxim)
(1) Minimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dan pihak lain!
(2) Maksimalkan kesetujuan antara diri sendiri dan pihak lain!
f. Bidal kesimpatian (sympathy maxim)
(1) Minimalkan antipati antara diri sendiri dan pihak lain!
(2) Maksimalkan simpati antara diri sendiri dan pihak lain!
Keenam bidal menurut Leech di atas dapat dilihat penjelasannya di bawah ini:
a.Bidal Ketimbangrasaan
Bidal ketimbangrasaan di dalam prinsip kesantunan memberikan petunjuk bahwa pihak lain di dalam tuturan hendaknya dibebani biaya seringan-ringannya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya.
Contoh:
(1) A : Mari saya masukkan surat anda ke kotak pos.
B : Jangan, tidak usah!
(2) A : Mari saya masukkan surat anda ke kotak pos.
B : Ni, itu baru namanya teman.
Di dalam tingkat kesantunan tuturan (1) B berbeda dari tuturan (2) B. Hal itu demikian karena tuturan (1) B meminimalkan biaya dan memaksimalkan keuntungan pada mitra tutur. Sementara itu, tuturan (2) B sebaliknya, yaitu memaksimalkan keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan kerugian kepada mitra tutur.
b.Bidal Kemurahhatian
Nasihat yang dikemukakan di dalam bidal kemurahhatian adalah bahwa pihak lain di dalam tuturan hendaknya diupayakan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, sementara itu diri sendiri atau penutur hendaknya berupaya mendapatkan keuntungan yang sekecil-kecilnya. Tutuan yang biasanya mengungkapkan bidal kemurahhatian ini adalah tuturan ekspresif dan tuturan asertif.
Contoh:
(1) A : Pukulanmu sangat keras.
B : Saya kira biasa saja, Pak.
(2) A : Pukulanmu sangat keras.
B : Siapa dulu?
Tuturan (1) B mematuhi bidal kemurahhatian, sedangkan tuturan (2) B melanggarnya. Hal ini dikarenakan tuturan (1) B itu memaksimalkan keuntungan kepada pihak lain dan meminimalkan keuntungan kepada diri sendiri. Sementara itu, tuturan (2) B sebaliknya; memaksimalkan keuntungan kepada diri sendiri dan meminimalkan keuntungan kepada pihak lain.
c.Bidal Keperkenaan
Bidal keperkenanaan adalah petunjuk untuk meminimalkan penjelekan terhadap pihak lain dan memaksimalkan pujian kepada pihak lain.
Contoh:
(1) A : Mari Pak, seadanya!
B : Terlalu banyak, sampai-sampai saya susah memilihnya.
(2) A : Mari Pak, seadanya!
B : Ya, segini saja nanti kan habis semua.
Tuturan (1) B mematuhi bidal keperkenaan karena penutur meminimalkan penjelekan terhadap pihak lain dan memaksimalkan pujian kepada pihak lain itu. (2) B melanggar bidal ini karena meminimalkan penjelekan kepada diri sendiri dan memaksimalkan pujian kepada diri sendiri. Dengan penjelasan itu, tingkat kesantunan tuturan (1) B lebih tinggi jika dibandingkan dengan tuturan (2) B.
d.Bidal Kerendahhatian
Nasihat bidal ini bahwa penutur hendaknya meminimalkan pujian terhadap diri sendiri dan memaksimalkan penjelekkan kepada diri sendiri. Bidal ini dimaksudkan sebagai upaya merendahhatian – bukan merendahdiriakan – penutur agar tidak terkesan sombong.
Contoh:
(1)Saya ini anak kemarin, Pak.
(2)Maaf, saya ini orang kampung.
(3)Sulit bagi saya untuk dapat meniru kehebatan Bapak.
Tuturan (1), (2), dan (3) di atas merupakan tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan bidal kerendahhatian ini. Hal ini dikarenakan tuturan-tuturan itu memaksimalkan penjelekkan kepada diri sendiri dan meminimalkan pujian kepada diri sendiri.
e.Bidal Kesetujuan
Bidal kesetujuan adalah bidal di dalam prinsip kesantunan yang memberikan nasehat untuk meminimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dan pihak lain dan memaksimalkan kesetujuan antara diri sendiri dan pihak lain.
Contoh:
(1) A : Bagaimana kalau lemari ini kita pindah?
B : Boleh.
(2) A : Bagaimana kalau lemari ini kita pindah?
B : Saya setuju sekali.
Tuturan (1) B dan (2) B merupakan tuturan yang meminimalkan ketidaksetujuan dan memaksimalkan kesetujuan antara diri sendiri sebagai penutur dengan pihak lain sebagai mitra tutur. Dibandingkan dengan tuturan (1) B, tuturan (2) B lebih memaksimalkan kesetujuan. Karena itu derajat kesopanannya lebih tinggi tuturan (2) B daripada tuturan (1) B.
f.Bidal Kesimpatian
Bidal yang meminimalkan antipati antara diri sendiri dan pihak lain dan memaksimalkan simpati antara diri sendiri dan pihak lain.
Berikut ini merupakan contoh tuturan yang sejalan dengan bidal kesimpatian.
Contoh:
(1)Saya ikut berduka cita atas meninggalnya ibunda.
(2)Saya benar-benar ikut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Ibunda tercinta.
Dikatakan sejalan karena tuturan di atas meminimalkan antipati dan memaksimalkan simpati antara penutur dan mitra tuturnya. Dengan demikian tuturan (1) dan (2) tersebut merupakan tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan bidal kesimpatian. Derajat pematuhan terhadap bidal kesimpatian oleh tuturan (2) lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diperankan oleh tuturan (1). Sedangkan tuturan (3) dan (4) berikut merupakan tuturan yang melanggar prinsip kesimpatian.
(3) A : Pak, Ibu saya meninggal.
B : Semua orang akan meninggal.
(4) A : Pak, Ibu saya meninggal.
B : Tumben.
Tuturan (3) B dan (4) B melanggar bidal kesimpatian karena tidak meminimalkan antipati dan tidak memaksimalkan kesimpatian antara diri sendiri dan orang lain. Dengan demikian, kedua tuturan itu merupakan tuturan yang kurang simpati atau santun.
Sumber: Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Label:
Bahasa dan Sastra
Tindak Tutur
Menurut Rustono (1999) tindak tutur dibedakan menjadi tindak tutur harfiah, tindak tutur tidak harfiah, tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung.
1)Tindak tutur harfiah adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
2)Tindak tutur tidak harfiah adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan kata-kata yang menyusunnya.
3)Tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang digunakan secara konvensional.
4)Tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang digunakan secara tidak konvensional.
Apabila keempat jenis tindak tutur tersebut digabung maka diperoleh empat macam tindak tutur interseksi, antara lain:
a.Tindak tutur langsung harfiah
Tuturan di bawah ini adalah tuturan yang dituturkan oleh seorang petugas pemeriksa keamanan kepada seseorang yang menjalani pemeriksaan. Tuturan tersebut merupakan tindak tutur harfiah.
Dokter : “Angkat tangan!”
Pasien : (mengangkat kedua tangannya, siap-siap untuk diperiksa)
b.Tindak tutur langsung tidak harfiah
Tuturan di bawah ini adalah tuturan yang diucapkan oleh seseorang kepada temannya yang bekerja sebagai pedagang.
A :“Daripada seperti ini terus, lebih baik gulung tikar saja!
c.Tindak tutur tidak langsung harfiah
Tuturan di bawah ini adalah tuturan yang diucapkan oleh seorang dokter kepada pasiennya yang mengalami kelaianan pada kelenjar ketiak.
Dokter : “Bagaimana kalau Bapak angkat tangan sebentar?”
d. Tindak tutur tidak langsung tidak harfiah
Tuturan di bawah ini adalah tuturan yang diucapkan oleh penutur yang mengajak temannya menyerah dalam menyelesaikan tugas yang sulit.
A : “Untuk menghemat waktu kita lebih baik angkat tangan saja”
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan keempat jenis tindak tutur interseksi tersebut antara lain sebagai berikut:
(1)“Buka mulut!” (harfiah)
(2)“Tutup mulut!” (tidak harfiah)
(3)“Bagaimana kalau mulutnya dibuka?” (tidak langsung harfiah)
(4)“Untuk menjaga rahasia, lebih baik kita semua menutup mulut kita masing-masing.” (tidak langsung tidak harfiah)
Sedangkan yang dimaksud dengan praanggapan, perikutan, vernakuler, seremonial, peformatif, isbatih, deklaratif, perlokusi, dan komisif adalah:
a.Praanggapan
Praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan. Yang dimaksud dengan dasar bersama adalah bahwa sebuah praanggapan hendaknya dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur sebagai pelaku percakapan di dalam bertindak tutur.
Contoh:
Tuturan (1) dan (2) berikut mempraanggapan tuturan yang lain.
(1)Wediana membeli passeo.
(2)Orang tua Anistia sudah meninggal dunia.
Tuturan yang dipraanggapan oleh tuturan (1) dan (2) adalah tuturan (3) dan (4) di bawah ini:
(3)(Ada kertas tisu merek passeo.
(4)Aistia mempunyai orang tua.
Tuturan (3) dan (4) masing-masing merupakan praanggapan dari tuturan (1) dan (2).
b.Perikutan
Perikutan adalah iplikasi logis dari sebuah tuturan (Gunawan dalam rustono, 1999). Perikutan tidak lain adalah konsekuensi mutlak dari sebuah tuturan.
Contoh:
(1)Orang itu berlari.
(2)Orang itu bergerak)
Verba bergerak merupakan implikasi logis dari verba berlari.
c.Vernakuler
Tindak Tutur Vernakuler adalah tindak tutur yang dapat dilakukan oleh setiap anggota masyarakat. Tindak tutur itu antara lain: verba meminta, mengucapkan terima kasih, dan memuji.
Contoh:
(1)“Saya berterima kasih atas kesempatan ini.”
(2)“Bagaimana kalau saya tidak ikut berdiskusi?”
Kedua tuturan di atas merupakan tuturna vernakuler karena keduanya dapat dituturkan oleh mahasiswa dapat pula dituturkan oleh petani (setiap orang).
d.Seremonial
Tindak tutur seremonial adalah tindak tutur yang dilakukan oleh orang yang berkelayakan untuk hal yang dituturkannya. Tindak menikahkan orang, memutuskan perkara, membuka sidang MPR/DPR, memulai upacara ritual, dsb.
Contoh:
“Dengan ini, saudara saya nikahkan dengan saudara Rohana, Puri Bapak Sutomo.”
Tuturan di atas merupakan tuturan menikahkan orang yang harus dilakukan oleh pennghulu. Orang awam, dokter, insinyur, tidak dapat serta merta menuturkan tuturan tersebut.
e.Performatif
Tuturan atau ujaran performatif dalam Kamus Linguistik (1993:221) adalah ujaran yang memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga.
Misal: Dalam ujaran Saya Mengucapkan Terima kasih, pembicara mengujarkannya dan sekaligus menyelesaikan perbuatan ‘mengucapkan’ itu.
Sedangkan menurut Gunawan dalam rustono (1999:35) bahwa tuturan performatif adalah tuturan yang merupakan tindakan melakukan sesuatu dengan membuat tuturan itu. Tuturan “Saya mohon maaf atas keterlambatan saya” merupakan contoh tuturan performatif. Berhadapan denga tuturan performatif, tidak dapat dikatakan bahwa tuturan performatif itu adalah tuturan yang salah atau benar.
Keahlian tuturan performatif bergantung kepada pemenuhan persyaratan kesahihan atau felicity conditions. Syarat kesahihan itu antara lain:
1.Harus ada prosedur konvensional yang mempunyai efek konvensional dan prosedur itu harus mencakupi pengujaran kata-kata tertentu oleh orang-orang tertentu pada peristiwa tertentu.
2.Orang-orang dan peristiwa tertentu di dalam kasus tertentu harus berkelayakan atau yang patut melaksanakan prosedur itu.
3.Prosedur itu harus dilaksanakan oleh para peserta secara benar.
4.Prosedur itu harus dilaksanakan oleh para pesertan secara lengkap.
Contoh:
(1)Saya berjanji akan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
(2)Saya namai daerah dengan banyuwangi.
(3)Saya yakin dapat memenangkan pertandingan itu.
(4)Saya rasa Anda telah memenangkan negosiasi dengan perusahaan ternama itu.
Pada contoh kalimat performatif nomor (1) terdapat lima syarat kesahihan untuk tindak tutur berjanji, yaitu:
oPenutur sudah dapat dipastikan bermaksud untuk memenuhi apa yang ia janjikan.
oPenutur harus berkeyakinan bahwa lawan tutur percaya bahwa tindakan yang dijanjikan menguntungkan poendengar.
oPenutur harus berkeyakinan bahwa ia mampu memenuhi janji itu.
oPenutur harus meprediksi tindakan yang akan dilakukan pada masa yang akan datang.
oPenutur harus mampu memprediksi tindakan yang akan dilakukan oleh dirinya sendiri.
Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa sebuah tuturan ‘berjanji’ sahih apabila syarat-syarat kesahihan itu tidak terpenuhi secara lengkap, kesahihan tuturan ”berjanji” itu kurang'.
f.Isbatih atau deklarasi
Tindak tutur Isbati disebut juga tindak tutur deklarasi, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Tuturan yang termasuk Isbati antara lain: memutuskan, melarang, membatalkan, mengizinkan, mengabulkan, mengangkat, mengampuni, memaafkan, dsb.
Contoh:
(1)“Saya tidak jadi datang ke rumahmu besok”.
(2)“Aku ingin kembali kepadamu”
(3)“ Jangan pernah menghukum anakmu lagi dengan keras”.
(4)“Aku akan memaafkan kesalahanmu”.
g. Perlokusi
Tuturan yang diucapkan seseorang penutur sering memiliki efek atau daya pengaruh (perlocutionary force). Efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu itulah yang dimaksud perlokusi. Efek tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja, dapat pula dengan tidak sengaja.
Contoh:
Tuturan, “sebentar lagi harga gabah turun” yang disampaikan kepada petani yang masih menyimpan banyak gabah merupakan tindak perlokusi.
Hal itu terjadi karena tuturan itu mempunyai daya mempengaruhi petani itu, yaitu petani itu menjadi ketakutan mengalami kerugian jika gabahnya tidak segera dijual.
h.Komisif
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Termasuk tuturan komisif antara lain: berjanji, bersumpah, mengancam, menyatakan kesanggupan, dsb.
Contoh:
(1)Saya berjanji akan melaksanakan tugas ini dengan sebaik-baiknya.”
Tuturan di atas mengikat penuturnya untuk melakukan tugas dengan sebaik-baiknya. Ikatan untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknya dinyatakan penuturnya yang membawa konsekuensi bagi dirinya untuk memenuhinya.
(2)“Besok saya akan datang ke rumah Bapak”.
(3)“Jika tidak dibayar pada tanggal 2 nanti, Anda akan dikenakan denda 20 persen dari biaya sebenarnya.”
(4)“Aku akan melamarmu tahun depan, Hani.”
(5)“Aku tidak akan kembali ke rumah sebelum cita-citaku menjadi dokter tercapai”.
Sumber :
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press.
1)Tindak tutur harfiah adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
2)Tindak tutur tidak harfiah adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan kata-kata yang menyusunnya.
3)Tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang digunakan secara konvensional.
4)Tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang digunakan secara tidak konvensional.
Apabila keempat jenis tindak tutur tersebut digabung maka diperoleh empat macam tindak tutur interseksi, antara lain:
a.Tindak tutur langsung harfiah
Tuturan di bawah ini adalah tuturan yang dituturkan oleh seorang petugas pemeriksa keamanan kepada seseorang yang menjalani pemeriksaan. Tuturan tersebut merupakan tindak tutur harfiah.
Dokter : “Angkat tangan!”
Pasien : (mengangkat kedua tangannya, siap-siap untuk diperiksa)
b.Tindak tutur langsung tidak harfiah
Tuturan di bawah ini adalah tuturan yang diucapkan oleh seseorang kepada temannya yang bekerja sebagai pedagang.
A :“Daripada seperti ini terus, lebih baik gulung tikar saja!
c.Tindak tutur tidak langsung harfiah
Tuturan di bawah ini adalah tuturan yang diucapkan oleh seorang dokter kepada pasiennya yang mengalami kelaianan pada kelenjar ketiak.
Dokter : “Bagaimana kalau Bapak angkat tangan sebentar?”
d. Tindak tutur tidak langsung tidak harfiah
Tuturan di bawah ini adalah tuturan yang diucapkan oleh penutur yang mengajak temannya menyerah dalam menyelesaikan tugas yang sulit.
A : “Untuk menghemat waktu kita lebih baik angkat tangan saja”
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan keempat jenis tindak tutur interseksi tersebut antara lain sebagai berikut:
(1)“Buka mulut!” (harfiah)
(2)“Tutup mulut!” (tidak harfiah)
(3)“Bagaimana kalau mulutnya dibuka?” (tidak langsung harfiah)
(4)“Untuk menjaga rahasia, lebih baik kita semua menutup mulut kita masing-masing.” (tidak langsung tidak harfiah)
Sedangkan yang dimaksud dengan praanggapan, perikutan, vernakuler, seremonial, peformatif, isbatih, deklaratif, perlokusi, dan komisif adalah:
a.Praanggapan
Praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan. Yang dimaksud dengan dasar bersama adalah bahwa sebuah praanggapan hendaknya dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur sebagai pelaku percakapan di dalam bertindak tutur.
Contoh:
Tuturan (1) dan (2) berikut mempraanggapan tuturan yang lain.
(1)Wediana membeli passeo.
(2)Orang tua Anistia sudah meninggal dunia.
Tuturan yang dipraanggapan oleh tuturan (1) dan (2) adalah tuturan (3) dan (4) di bawah ini:
(3)(Ada kertas tisu merek passeo.
(4)Aistia mempunyai orang tua.
Tuturan (3) dan (4) masing-masing merupakan praanggapan dari tuturan (1) dan (2).
b.Perikutan
Perikutan adalah iplikasi logis dari sebuah tuturan (Gunawan dalam rustono, 1999). Perikutan tidak lain adalah konsekuensi mutlak dari sebuah tuturan.
Contoh:
(1)Orang itu berlari.
(2)Orang itu bergerak)
Verba bergerak merupakan implikasi logis dari verba berlari.
c.Vernakuler
Tindak Tutur Vernakuler adalah tindak tutur yang dapat dilakukan oleh setiap anggota masyarakat. Tindak tutur itu antara lain: verba meminta, mengucapkan terima kasih, dan memuji.
Contoh:
(1)“Saya berterima kasih atas kesempatan ini.”
(2)“Bagaimana kalau saya tidak ikut berdiskusi?”
Kedua tuturan di atas merupakan tuturna vernakuler karena keduanya dapat dituturkan oleh mahasiswa dapat pula dituturkan oleh petani (setiap orang).
d.Seremonial
Tindak tutur seremonial adalah tindak tutur yang dilakukan oleh orang yang berkelayakan untuk hal yang dituturkannya. Tindak menikahkan orang, memutuskan perkara, membuka sidang MPR/DPR, memulai upacara ritual, dsb.
Contoh:
“Dengan ini, saudara saya nikahkan dengan saudara Rohana, Puri Bapak Sutomo.”
Tuturan di atas merupakan tuturan menikahkan orang yang harus dilakukan oleh pennghulu. Orang awam, dokter, insinyur, tidak dapat serta merta menuturkan tuturan tersebut.
e.Performatif
Tuturan atau ujaran performatif dalam Kamus Linguistik (1993:221) adalah ujaran yang memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga.
Misal: Dalam ujaran Saya Mengucapkan Terima kasih, pembicara mengujarkannya dan sekaligus menyelesaikan perbuatan ‘mengucapkan’ itu.
Sedangkan menurut Gunawan dalam rustono (1999:35) bahwa tuturan performatif adalah tuturan yang merupakan tindakan melakukan sesuatu dengan membuat tuturan itu. Tuturan “Saya mohon maaf atas keterlambatan saya” merupakan contoh tuturan performatif. Berhadapan denga tuturan performatif, tidak dapat dikatakan bahwa tuturan performatif itu adalah tuturan yang salah atau benar.
Keahlian tuturan performatif bergantung kepada pemenuhan persyaratan kesahihan atau felicity conditions. Syarat kesahihan itu antara lain:
1.Harus ada prosedur konvensional yang mempunyai efek konvensional dan prosedur itu harus mencakupi pengujaran kata-kata tertentu oleh orang-orang tertentu pada peristiwa tertentu.
2.Orang-orang dan peristiwa tertentu di dalam kasus tertentu harus berkelayakan atau yang patut melaksanakan prosedur itu.
3.Prosedur itu harus dilaksanakan oleh para peserta secara benar.
4.Prosedur itu harus dilaksanakan oleh para pesertan secara lengkap.
Contoh:
(1)Saya berjanji akan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
(2)Saya namai daerah dengan banyuwangi.
(3)Saya yakin dapat memenangkan pertandingan itu.
(4)Saya rasa Anda telah memenangkan negosiasi dengan perusahaan ternama itu.
Pada contoh kalimat performatif nomor (1) terdapat lima syarat kesahihan untuk tindak tutur berjanji, yaitu:
oPenutur sudah dapat dipastikan bermaksud untuk memenuhi apa yang ia janjikan.
oPenutur harus berkeyakinan bahwa lawan tutur percaya bahwa tindakan yang dijanjikan menguntungkan poendengar.
oPenutur harus berkeyakinan bahwa ia mampu memenuhi janji itu.
oPenutur harus meprediksi tindakan yang akan dilakukan pada masa yang akan datang.
oPenutur harus mampu memprediksi tindakan yang akan dilakukan oleh dirinya sendiri.
Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa sebuah tuturan ‘berjanji’ sahih apabila syarat-syarat kesahihan itu tidak terpenuhi secara lengkap, kesahihan tuturan ”berjanji” itu kurang'.
f.Isbatih atau deklarasi
Tindak tutur Isbati disebut juga tindak tutur deklarasi, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Tuturan yang termasuk Isbati antara lain: memutuskan, melarang, membatalkan, mengizinkan, mengabulkan, mengangkat, mengampuni, memaafkan, dsb.
Contoh:
(1)“Saya tidak jadi datang ke rumahmu besok”.
(2)“Aku ingin kembali kepadamu”
(3)“ Jangan pernah menghukum anakmu lagi dengan keras”.
(4)“Aku akan memaafkan kesalahanmu”.
g. Perlokusi
Tuturan yang diucapkan seseorang penutur sering memiliki efek atau daya pengaruh (perlocutionary force). Efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu itulah yang dimaksud perlokusi. Efek tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja, dapat pula dengan tidak sengaja.
Contoh:
Tuturan, “sebentar lagi harga gabah turun” yang disampaikan kepada petani yang masih menyimpan banyak gabah merupakan tindak perlokusi.
Hal itu terjadi karena tuturan itu mempunyai daya mempengaruhi petani itu, yaitu petani itu menjadi ketakutan mengalami kerugian jika gabahnya tidak segera dijual.
h.Komisif
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Termasuk tuturan komisif antara lain: berjanji, bersumpah, mengancam, menyatakan kesanggupan, dsb.
Contoh:
(1)Saya berjanji akan melaksanakan tugas ini dengan sebaik-baiknya.”
Tuturan di atas mengikat penuturnya untuk melakukan tugas dengan sebaik-baiknya. Ikatan untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknya dinyatakan penuturnya yang membawa konsekuensi bagi dirinya untuk memenuhinya.
(2)“Besok saya akan datang ke rumah Bapak”.
(3)“Jika tidak dibayar pada tanggal 2 nanti, Anda akan dikenakan denda 20 persen dari biaya sebenarnya.”
(4)“Aku akan melamarmu tahun depan, Hani.”
(5)“Aku tidak akan kembali ke rumah sebelum cita-citaku menjadi dokter tercapai”.
Sumber :
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Label:
Bahasa,
Bahasa dan Sastra
Teori Kesantunan Menurut Brown dan Levinson
Konsep atau prinsip kesantunan dikemukakan oleh banyak ahli. Dasar pendapat ahli tentang konsep kesantunan itu berbeda-beda. Ada konsep kesantunan yang dirumuskan dalam bentuk kaidah, ada pula yang diformulasi dalam bentuk strategi. Konsep kesantunan yang dirumuskan di dalam bentuk kaidah membentuk prinsip kesantunan, sedangkan konsep kesantunan yang dirumuskan di dalam bentuk strategi membentuk teori kesantunan (Rustono, 1999:67-68).
Prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson berkisar pada nosi muka, yaitu muka positif dan muka negatif.
a.Muka positif yaitu muka yang mengacu pada citra diri orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakininya diakui orang sebagai suatu hal yang baik, menyenangkan, patut dihargai, dan seterusnya.
Contoh:
(1)Saya senang dengan kejujuran Anda.
(2)Sekarang kejujuran itu tidak menjamin kesuksesan.
Tuturan (1) merupakan tuturan yang santun karena menghargai apa yang dilakukan mitra tuturnya, sedangkan tuturan (2) kurang santun karena tidak menghargai apa yang dilakukan mitra tuturnya.
b.Muka negatif adalah muka yang mengacu pada citra diri orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan penutur membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu.
Contoh:
(3)Jangan tidur terlalu malam, nanti bangunnya kesiangan!
Tuturan (3) merupakan tuturan yang tidak santun karena penutur tidak membiarkannya mitra tuturnya bebas melakukan apa yang sedang dikerjakannya. Ketidaksantunan tuturan (3) itu menyangkut muka negatif. Kesantunan yang berkenaan dengan muka negatif dinamakan kesantunan negatif.
Di samping itu, prinsip kesantunan Brown dan Levinson itu tidak berkenaan dengan kaida-kaidah, tetapi menyangkut strategi-strategi. Ada lima strategi kesantunan yang dapat dipilih agar tuturan penutur santun. Kelima strategi itu adalah:
a.Melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa basi, dengan mematuhi prinsip kerjasama Grice.
b.Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif.
c.Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan negatif.
d.Melakukan tindak tutur secara off records; dan
e.Tidak melakukan tindak tutur atau diam saja.
Pemilihan strategi itu bergantung besar kecilnya ancaman terhadap muka. Makin kecil ancaman terhadap muka makin kecil nomor pilihan strateginya dan makin besar ancaman terhadap muka makin besar pula nomor pilihan strategi bertuturnya (Rustono, 1999: 70).
Sumber: Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson berkisar pada nosi muka, yaitu muka positif dan muka negatif.
a.Muka positif yaitu muka yang mengacu pada citra diri orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakininya diakui orang sebagai suatu hal yang baik, menyenangkan, patut dihargai, dan seterusnya.
Contoh:
(1)Saya senang dengan kejujuran Anda.
(2)Sekarang kejujuran itu tidak menjamin kesuksesan.
Tuturan (1) merupakan tuturan yang santun karena menghargai apa yang dilakukan mitra tuturnya, sedangkan tuturan (2) kurang santun karena tidak menghargai apa yang dilakukan mitra tuturnya.
b.Muka negatif adalah muka yang mengacu pada citra diri orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan penutur membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu.
Contoh:
(3)Jangan tidur terlalu malam, nanti bangunnya kesiangan!
Tuturan (3) merupakan tuturan yang tidak santun karena penutur tidak membiarkannya mitra tuturnya bebas melakukan apa yang sedang dikerjakannya. Ketidaksantunan tuturan (3) itu menyangkut muka negatif. Kesantunan yang berkenaan dengan muka negatif dinamakan kesantunan negatif.
Di samping itu, prinsip kesantunan Brown dan Levinson itu tidak berkenaan dengan kaida-kaidah, tetapi menyangkut strategi-strategi. Ada lima strategi kesantunan yang dapat dipilih agar tuturan penutur santun. Kelima strategi itu adalah:
a.Melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa basi, dengan mematuhi prinsip kerjasama Grice.
b.Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif.
c.Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan negatif.
d.Melakukan tindak tutur secara off records; dan
e.Tidak melakukan tindak tutur atau diam saja.
Pemilihan strategi itu bergantung besar kecilnya ancaman terhadap muka. Makin kecil ancaman terhadap muka makin kecil nomor pilihan strateginya dan makin besar ancaman terhadap muka makin besar pula nomor pilihan strategi bertuturnya (Rustono, 1999: 70).
Sumber: Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Label:
Bahasa,
Bahasa dan Sastra
Macam-macam Implikatur Percakapan dan Sumbernya
Implikatur atau imliatur percakapan adalah implikasi pragmatis yang terdapat di dalam percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan (Rustono, 1999: 82). Sejalan dengan batasan tentang implikasi pragmatis, implikatur percakapan itu adalah proporsi atau ‘pernyataan’ implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh penutur yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh di dalam suatu percakapan (Grice 1975: 43, Gazdar 1979: 38).
Implikatur percakapan terjadi karena adanya kenyataan bahwa sebuah ujaran yang mempunyai implikasi berupa proposisi sebenarnya bukan bagian dari tuturan tersebut dan tidak pula merupakan konsekuensi yang harus ada dari tuturan itu (Gunawan, 1994: 52).
Grice dalam Rustono (1999: 83) membedakan tiga macama implikatur yaitu implikatur konvensional, implikatur non konvensional, dan praanggapan.
(1)Implikatur konvensional
Yaitu implikatur yang diperoleh langsung dari makna kata, dan bukan dari prinsip percakapan.
Contoh:
Masriatun tuli, oleh karena itu ia tidak dapat berbicara.
Implikatur tuturan itu adalah bahwa Masriatu tidak dapat berbicara merupakan konsekuensi karena ia tuli. Jika Masriatun tidak tuli, tentu tuturan itu tidak berimplikasi bawa Masriatun tidak dapat berbicara karena ia tuli.
(2)Implikatur non konvensional
Implikatur non konvensional atau implikatur percakapan adalah implikasi pragmatis yang tersirat di dalam suatu percakapan.
Contoh:
Wah, Pak Win asekarang sudah menjadi orang.
Implikatur percakapan tuturan itu adalah bahwa dahulu Pak Win belum sukses. Prinsip percakapan yang dilanggar oleh tuturan itu adalah prinsip kerjasama bidal cara, yaitu berupa penutur bertutur secara tidak langsung.
(3)Praanggapan
Praanggapan berupa andaian penutur bahwa mitra tutur dapat mengenal pasti orang atau benda yang diperkatakan. Sebuah tuturan dapat mempraanggapan tuturan yang lain. Sebuah tuturan dikatakan mempraanggapan tuturan yang lain jika ketidakbenaran tuturan kedua atau yang dipraanggapan mengakibatkan tuturan yang pertama atau yang mempraanggapan tidak dapat dikatakan benar atau salah.
Contoh:
(1)Budiono minum Aqua.
(2)Mobil Pak Dayat baru.
Tuturan yang dipraanggapan oleh tuturan (1) dan (2) masing-masing adalah tuturan (3) dan (4) berikut ini:
(3)Ada minuman merek Aqua.
(4)Pak Dayat mempunyai mobil.
Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa tuturan (3) dan (4) masing-masing merupakan praanggapan dari tuturan (1) dan (2).
Implikatur percakapan merupakan hasil inferensi dari adanya tuturan yang melanggar prinsip percakapan. Implikatur percakapan timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan. Dengan pernyataan lain, sumber implikatur percakapan itu pelanggaran prinsip percakapan (Rustono, 1999: 87).
Berdasarkan pendapat di atas maka sumber implikatur adalah pelanggaran prinsip percakapan. Sedangkan pelanggaran prinsip percakapan dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
(1)Pelanggaran prinsip kerjasama dengan berbagai bidalnya.
(2)Pelanggaran prinsip kesantunan dengan berbagai bidalnya.
Sumber:
Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Implikatur percakapan terjadi karena adanya kenyataan bahwa sebuah ujaran yang mempunyai implikasi berupa proposisi sebenarnya bukan bagian dari tuturan tersebut dan tidak pula merupakan konsekuensi yang harus ada dari tuturan itu (Gunawan, 1994: 52).
Grice dalam Rustono (1999: 83) membedakan tiga macama implikatur yaitu implikatur konvensional, implikatur non konvensional, dan praanggapan.
(1)Implikatur konvensional
Yaitu implikatur yang diperoleh langsung dari makna kata, dan bukan dari prinsip percakapan.
Contoh:
Masriatun tuli, oleh karena itu ia tidak dapat berbicara.
Implikatur tuturan itu adalah bahwa Masriatu tidak dapat berbicara merupakan konsekuensi karena ia tuli. Jika Masriatun tidak tuli, tentu tuturan itu tidak berimplikasi bawa Masriatun tidak dapat berbicara karena ia tuli.
(2)Implikatur non konvensional
Implikatur non konvensional atau implikatur percakapan adalah implikasi pragmatis yang tersirat di dalam suatu percakapan.
Contoh:
Wah, Pak Win asekarang sudah menjadi orang.
Implikatur percakapan tuturan itu adalah bahwa dahulu Pak Win belum sukses. Prinsip percakapan yang dilanggar oleh tuturan itu adalah prinsip kerjasama bidal cara, yaitu berupa penutur bertutur secara tidak langsung.
(3)Praanggapan
Praanggapan berupa andaian penutur bahwa mitra tutur dapat mengenal pasti orang atau benda yang diperkatakan. Sebuah tuturan dapat mempraanggapan tuturan yang lain. Sebuah tuturan dikatakan mempraanggapan tuturan yang lain jika ketidakbenaran tuturan kedua atau yang dipraanggapan mengakibatkan tuturan yang pertama atau yang mempraanggapan tidak dapat dikatakan benar atau salah.
Contoh:
(1)Budiono minum Aqua.
(2)Mobil Pak Dayat baru.
Tuturan yang dipraanggapan oleh tuturan (1) dan (2) masing-masing adalah tuturan (3) dan (4) berikut ini:
(3)Ada minuman merek Aqua.
(4)Pak Dayat mempunyai mobil.
Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa tuturan (3) dan (4) masing-masing merupakan praanggapan dari tuturan (1) dan (2).
Implikatur percakapan merupakan hasil inferensi dari adanya tuturan yang melanggar prinsip percakapan. Implikatur percakapan timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan. Dengan pernyataan lain, sumber implikatur percakapan itu pelanggaran prinsip percakapan (Rustono, 1999: 87).
Berdasarkan pendapat di atas maka sumber implikatur adalah pelanggaran prinsip percakapan. Sedangkan pelanggaran prinsip percakapan dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
(1)Pelanggaran prinsip kerjasama dengan berbagai bidalnya.
(2)Pelanggaran prinsip kesantunan dengan berbagai bidalnya.
Sumber:
Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Label:
Bahasa,
Bahasa dan Sastra
Analisis Stilistika terhadap Puisi-puisi Soekamto
Abstrak : Puisi merupakan suatu karya sastra yang banyak digunakan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pikiran dan perasaan pengarang kepada pembaca. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian atau konvensi dari masyarakat. Bahasa yang digunakan di dalam puisi cenderung menyimpang dari kaidah kebahasaan, bahkan menggunakan bahasa yang dianggap aneh atau khas. Puisi-puisi Soekamto secara garis besar tidak memiliki rima yang teratur. Puisi-puisi tersebut mengandung asonansi, aliterasi, dan rima. Di samping itu, puisi-puisi Soekamto jug mengandung gaya bahasa dan bahasa kiasan, seperti paralelisme, hiperbola, peronifikasi, dan metafora.
Kata Kunci : Puisi, Asonansi, Aliterasi, Rima, Gaya Bahasa, Bahasa Kiasan
I.LATAR BELAKANG
Puisi merupakan suatu karya sastra yang banyak digunakan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pikiran dan perasaan pengarang kepada pembaca. Puisi sebagai karya sastra menggunakan bahasa sebagai media untuk mengungkapkan makna. Makna tersebut diungkapkan melalui sistem tanda yaitu tanda-tanda yang mempunyai arti.
Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian atau konvensi dari masyarakat. Bahasa yang digunakan di dalam puisi cenderung menyimpang dari kaidah kebahasaan, bahkan menggunakan bahasa yang dianggap aneh atau khas. Penyimpangan penggunaan bahasa dalam puisi, menurut Riffaterre (dalam Supriyanto, 2009: 2) disebabkan oleh tiga hal yaitu displacing of meaning (pengganitan arti), dan creating of meaning (perusakan atau penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti).
Oleh karena banyak penyimpangan arti di dalam puisi, maka pengamatan atau pengkajian terhadap puisi khususnya dilihat dari gaya bahasanya sering dilakukan. Pengamatan terhadap puisi melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan dengan pengalaman bahasanya disebut sebagai analisis stilistika.
Beberapa puisi yang sangat menarik untuk dikaji menggunakan analisis stilistika adalah puisi karya Soekamto. Karya Soekamto yang akan dikaji adalah tiga buah puisi yang dimuat di dalam kumpulan puisi kompas, yaitu Lembar Kehidupan (2005), Suatu Saat Kita Susun Cerita Bersama (2007), dan Cerita Menjelang Malam (2008). Ketiga puisi tersebut menarik untuk dikaji karena banyak menggunakan gaya bahasa dan pengulangan kata yang tidak lazim digunakan dalam bahasa baku (penyimpangan bahasa).
II.BIOGRAFI SOEKAMTO
Soekamto adalah seorang Pegawai Negeri Sipil lulusan Fakultas Hukum UNTAG 1945, sekarang bekerja di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Semarang. Ia dilahirkan di Semarang pada tanggal 3 Nopember 1965. Mulai aktif menulis sejak lulus SMP, dan setelah bersahabat dengan Handry TM dan Agus Maladi Irianto semangant kepenulisannya semakin terpacu. Pada masa kepengurusan Keluarga Penulis Semarang (KPS) dipimpin oleh Handry TM (1990-an), Soekamto aktif memegang devisi panggung sastra yang secara rutin mengadakan kegiatan bulanan di TBRS.
Karya-karyanya pernah dimuat di Harian Suara Merdeka, Wawasan, Kartia (alm.), Bahari, dan lain-lain. Puisi-puisinya juga mewarnai beberapa antologi puisi penyair Jawa Tengah (1991), Antologi Puisi Semarang “Lawang Sewu” (1995), Antologi Puisi Penyair Semarang dalam acara Festival Semarang (1996), Kumpulan puisi penyair Jawa Tengah (Jentera Terkasa) dalam rangka “Pasar Puisi” Taman Budaya Jawa Tengah (1998). “Langit Semarang” diterbitkan Taman Budaya Jawa Tengah bersama lima penyair Semarang, diantaranya Timur Sinar Suprabana, Handry TM, dan Beno Siang Pamungkas (2008), dan membukukan sajak-sajaknya dalam Kumpulan Sajak “Bulan Pecah” (2008).
Saat ini, Soekamto menjabat sebagai Sekretaris Umum Dewan Kesenian Semarang (dekase) periode 2008-2012.
III.PUISI
a.Lembar kehidupan
matahari menggeliat dan terjaga dari tidurnya
warna merah jingga menghias angkasa
aku pun tafakur dalam sujud
memohon ridlo-NYA melangkahkan kaki
menapaki tanah terjal bebatuan
luaslapangnya padang pasir
luasdalamnya lautan biru
dan tinggi tak berbatasnya angkasa raya
yang terlintas dibuku – buku pelajaran
lembar demi lembar
kuejabaca kata demi kata rangkaian kalimat
di lembaran tanah terjal bebatuanmu
kutemu pepohonan, tanah merah yang menyatu dikesuburanmu
di lembaran luaslapangnya padang pasir
kutemu jutaan butiran pasir membara
di lembaran luasdalamnya lautan birumu
kutemu air, ikan dan pepohon laut
di lembaran tinggi tak berbatasnya angkasa rayamu
kutemu angin, mendung, matahari, bulan, bintang
dan burung burung beterbangan
membuka lembaran demi lembaran
kehidupan banyak rintangperintang membolamata
menghadang
aku terus melaju
membuka lembaran buku – buku pelajaran
hingga habis kutelanbaca
karena aku ingin sampai di garis cakrawala
Semarang, 120405
b.Suatu saat kita susun cerita bersama
: bapak Soekiswanto
Tanpa terasa empat kalender terlampaui
disaat semilir angin merekaterat
uliran tali dan persenyawaan
dua warna yang berbeda
matahari pun perlahan terus melangkah
kembali ke peraduaanya
esok
hari dan tanggal pun tenggelamkan
empat puluh delapan purnama
batas garis birokrasi
kau lenyap samarkan
bulan pun ringan melenggang
mengutuhbulatkan lingkarannya dari gerhana
esok
hari dan tanggal pun bertambah
tanpa terasa empat kalender
telah habis tertelanbaca
diawalnya pertemuan
perpisahan pun mengakhiri cerita
sesungguhnya rentang waktu
yang terlewatkan terlalu belia
tapi ini bukanlah akhir dari cerita kita
dalam menelusur jalan matahari
karena masih banyak cerita
yang musti kita susun bersama
tanpa terasa empat kalender
telah kita lalui bersama
diakhir cerita ini
tak ada kata lain
kecuali maaf
dan biarkan matahari terus melangkah
kembali keperaduannya
karena esok
masih banyak yang harus kita perjuangkan
meski ditempat yang berbeda
dan suatu saat kita akan menyusun cerita bersama
Semarang 24072007
c.Cerita menjelang malam
: almarhum muhadi
Menjelang malam
dijalanan beraspal kau terobos semilirnya angin
wajahmu pucatpasi tanpa sinar matahari
gerimis menabuh kesunyian
dedaunan pun berguguran
berserakan dibahu jalan raya
sesungguhnya kau ingin berbagi cerita
pada anak istrimu yang terluka
pada orang orang yang mengelilingimu
di pembaringan
dengan mata sayu dan mulut kaku
engkau tetap diam dalam kebekuan
kecuali tak lebih untuk berontak
membelah langit sap tujuh
yang berselimut kabut
dan mendung
di antara rasa sakit yang terus deraan tubuhmu
hujanpun berteriak keras
menenggelamkan gerimismu
yang menghilang dibalik malam
mencekam
esok
ketika matahari hampir di atas kepala
kau ternyata sudah jauh meninggalkan kita semua
kau pun tersenyum sembari melambaikan tangan
dan menghilang dibalik megamega.
Semarang, 2008
IV.ANALISIS STILISTIKA
Penelitian stilistika menaruh perhatian pada penggunaan bahasa dalam karya sastra. Persoalan yang menjadi fokus perhatian stilistika adalah pemakaian bahasa yang menyimpang dari bahasa sehari-hari, atau disebut bahasa khas dalam wacana sastra. Penyimpangan penggunaan bahasa bisa berupa penyimpangan terhaap kaidah bahasa, banyaknya pemakaian bahasa daerah, dan pemakaian bahasa asing atau unsur-unsur asing. Penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan tersebut diduga dilakukan untuk tujuan tertentu.
Pusat perhatian stilistika adalah penggunaan bahasa (gaya bahasa) secara literer dan sehari-hari. Sebagai stylist, seseorang harus mampu menguasai norma bahasa pada masa yang sama dengan bahasa yang dipakai dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa juga diarahkan oleh bentuk karya sastra yang ingin dihasilkan. Misalnya, gaya penataan puisi berbeda dengan gaya penataan bentuk prosa fiksi. Dalam puisi, salah satu kemampuan yang dimiliki penyair adalah penggunaan bunyi dalam karya sastra yang terjadi antara bunyi vokal dan konsonan.
Paduan bunyi-bunyi tersebut dinamakan asonansi, aliterasi, dan rima. Asonansi adalah paduan bunyi vokal antara kata-kata dalam satuan larik. Aliterasi adalah paduan bunyi konsonan antara kata-kata dalam satuan larik. Sedangkan rima merupakan paduan bunyi konsonan yang sama, tetapi diawali oleh bunyi vokal yang sama pada akhir larik yang berbeda.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis besar puisi-puisi karya Soekamto tidak memiliki bunyi (rima) yang teratur. Gaya bahasanya bebas, tidak seperti puisi lama yang sangat memperhatikan rima dan jumlah baris. Akan tetapi, dalam puisi-puisi Soekamto masih terdapat beberapa asonansi dan aliterasi bahkan ada beberapa yang memiliki rima yang sama. Hal ini tidak diketahui apakah Soekamto menggunakannya secara sengaja ataukah tidak sengaja. Karena karya-karyanya lebih menonjolkan gaya bahasa kias yang sangat kental.
Asonansi pada puisi Lembar Kehidupan karya Soekamto terdapat pada kata ‘terjaga’ dan ‘tidurnya’; ‘angakasa’ dan ‘raya’. Kata-kata tersebut mengandung asonansi [a]. Asonansi [u] terdapat pada kata ‘menyatu’ dan ‘dikesuburanmu’. Sedangkan aliterasi [n] terdapat pada kata ‘lembaran’ dan ‘pelajaran’ serta pada kata ‘lembaran’ dan ‘demi lembaran’. Di samping itu terdapat rima [mu] pada kata ‘bebatuanmu’(bait 2 baris 3) dan ‘dikesuburanmu’ (bait 2 baris 4).
Pada puisi Suatu Saat Kita Susun Cerita Bersama terdapat asonansi [a] yaitu pada kata-kata ‘warna’ dan ‘berbeda’; ‘tanpa’ dan ‘terasa’; ‘kita’ dan ‘bersama’. Sedangkan pada puisi Cerita Menjelang Malam terdapat asonansi [i] pada kata ‘pucatpasi’ dan ‘matahari’; asonansi [u] pada kata ‘sayu’ dan ‘kaku’; serta asonansi [a] pada kata ‘kita’ dan ‘semua’. Di samping itu juga terdapat aliterasi [n] pada larik ‘dedaunan pun berserakan’; dan rima [am] pada kata ‘malam’ (bait3 baris 4) dan ‘mencekam’ (bait 3 baris 5).
Di samping asonansi dan aliterasi, puisi-puisi karya Soekamto memiliki ciri khas yaitu adanya ‘bentuk ulang’. Bentuk ulang menurut Pradopo (1993: 108) merupakan gabungan kata yang berupa pengulangan kata yang dapat memberikan efek peyangatan atau melebih-lebihkan.
Bentuk ulang itu hampir terdapat pada semua puisinya. Pada puisi Lembar Kehidupan terdapat dua bentuk ulang yaitu ‘buku-buku’ dan ‘burung burung’. Sedanngkan pada puisi Cerita Menjelang Malam terdapat bentuk ulang ‘megamega’.
Bentuk ulang tersebut digunakan oleh penyair untuk menekankan arti atau memberikan efek yang mantap. Selain bentuk ulang, penekanan arti juga diberikan dengan cara menggabungkan dua kata yang seharusnya dipisah. Penggabungan ini sungguh unik, karena tidak banyak puisi dari penyair lain yang menggunakan bentuk seperti ini. Seperti, luaslapangnya, luasdalamnya, kuejabaca, rintagperintang, membolamata, kutelanbaca, pucatpasi, megamega, merekaterat, dan tertelanbaca.
Gabungan kata-kata tersebut dimaksudkan untuk menekankan bahwa makna pada kata-kata yang digabungkan memiliki nilai yang lebih dibandingkan dengan kata lainnya. Di samping itu, penggabungan biasanya digunakan untuk memberikan efek membesar-besarkan atau memperjelas makna. Sedangkan untuk memberikan efek keindahan, Soekamto menggunakan berbagai macam gaya bahasa dan bahasa kias.
Dalam buku Pengkajian Puisi karangan Dr. Rahmat Djoko Pradopo, dijelaskan cara menyampaikan pikiran atau perasaan ataupun maksud-maksud lain melalui gaya bahasa. Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu di dalam hati pembaca. Gaya bahasa meliputi, tautologi, pleonasme, enumerasi, paralelisme, retorik retiense, hiperbola, paradoks, dan kiasmus.
Pada ketiga puisi karya Soekamto hanya ditemukan dua gaya bahasa yaitu paralelisme dan hiperbola.
(1)Paralelisme
Paralelisme atau pensejajaran yaitu gaya bahasa yang mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului.
a.Pada puisi Lembar Kehidupan (bait ke-2 baris ke-3-10) :
..................
di lembaran tanah terjal bebatuanmu
kutemu pepohonan, tanah merah yang menyatu dikesuburanmu
di lembaran luaslapangnya padang pasir
kutemu jutaan butiran pasir membara
di lembaran luasdalamnya lautan birumu
kutemu air, ikan dan pepohon laut
di lembaran tinggi tak berbatasnya angkasa rayamu
kutemu angin, mendung, matahari, bulan, bintang
...................
b.Pada Puisi Cerita Menjelang Malam (bait ke-2 baris ke-3 dan 4) dan (bait ke-4 baris ke-3 dan 4):
....................
pada anak istrimu yang terluka
pada orang orang yang mengelilingimu
....................
.....................
kau ternyata sudah jauh meninggalkan kita semua
kau pun tersenyum sembari melambaikan tangan
.....................
(2)Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Gaya bahasa hiperbola hanya ditemukan pada puisi Cerita Menjelang Malam bait ke-2 baris ke-8 dan bait ke-4 baris ke-2:
..........................
membelah langit sap tujuh
..........................
..........................
hujan pun berteriak keras
........................
Di samping gaya bahasa, pada ketiga puisi karya Soekamto juga ditemukan bahasa kias yaitu personifikasi dan metafora.
(1)Personifikasi
Personifikasi yaitu bahasa kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi ditemukan pada ketiga puisi tersebut.
a.Pada puisi Lembar Kehidupan ditemukan satu bahasa kias personifikasi, yaitu pada bait ke-1 baris ke-1:
matahari menggeliat dan terjaga dari tidurnya
.....................
b.Pada puisi Suatu Saat Kita Susun Cerita Bersama ada empat bahasa kias personifikasi, yaitu:
Bait ke-3 baris ke-1:
matahari pun perlahan terus melangkah
Bait ke-4 baris ke-6:
bulan pun ringan melenggang
Bait ke-7 baris ke-3 dan 4:
sesungguhnya rentang waktu
yang terlewatkan terlalu belia
Bait ke-8 baris ke-6:
dan biarkan matahari terus melangkah
c.Pada puisi Cerita Menjelang Malam terdapat satu bahasa kias personifikasi, yaitu pada bait ke-1 baris ke-4:
.................
gerimis menabuh kesunyian
.................
(2)Metafora
Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti, dan sebagainya. Bahasa kiasan metafora terdapat di ketiga puisi karya Soekamto.
a.Pada puisi Lembar Kehidupan terdapat pada bait terakhir baris terakhir.
..................
karena aku ingin sampai di garis cakrawala
b.Pada puisi Suatu Saat Kita Susun Cerita Bersama terdapat pada bait ke-6 baris ke-6:
....................
dalam menelusur jalan matahari
.....................
c.Pada puisi Cerita Menjelang Malam terdapat pada bait pertama baris ke-6:
....................
berserakan di bahu jalan raya
V.SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tiga puisi karangan Soekamto, secara garis besar tidak memiliki bunyi (rima) yang teratur. Gaya bahasanya bebas, tidak seperti puisi lama yang sangat memperhatikan rima dan jumlah baris. Akan tetapi, dalam puisi-puisi Soekamto masih terdapat beberapa asonansi dan aliterasi bahkan ada beberapa yang memiliki rima yang sama.
Di samping itu, puisi-puisi Soekamto juga mengandung gaya bahasa dan bahasa kiasan yang digunakan untuk menambah nilai rasa. Gaya bahasa yang digunakannya antara lain paralelisme dan hiperbola, sedangkan bahasa kiasan yang digunakan adalah personifikasi dan metafora.
VI.DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, Rahmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soekamto. 2009. Kumpulan Puisi Kompas. (online)(http://kompas.com diakses 1 April 2009 pukul 01:12 WIB)
Supriyanto, Teguh. 2009. Stilistika dalam Prosa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Kata Kunci : Puisi, Asonansi, Aliterasi, Rima, Gaya Bahasa, Bahasa Kiasan
I.LATAR BELAKANG
Puisi merupakan suatu karya sastra yang banyak digunakan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pikiran dan perasaan pengarang kepada pembaca. Puisi sebagai karya sastra menggunakan bahasa sebagai media untuk mengungkapkan makna. Makna tersebut diungkapkan melalui sistem tanda yaitu tanda-tanda yang mempunyai arti.
Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian atau konvensi dari masyarakat. Bahasa yang digunakan di dalam puisi cenderung menyimpang dari kaidah kebahasaan, bahkan menggunakan bahasa yang dianggap aneh atau khas. Penyimpangan penggunaan bahasa dalam puisi, menurut Riffaterre (dalam Supriyanto, 2009: 2) disebabkan oleh tiga hal yaitu displacing of meaning (pengganitan arti), dan creating of meaning (perusakan atau penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti).
Oleh karena banyak penyimpangan arti di dalam puisi, maka pengamatan atau pengkajian terhadap puisi khususnya dilihat dari gaya bahasanya sering dilakukan. Pengamatan terhadap puisi melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan dengan pengalaman bahasanya disebut sebagai analisis stilistika.
Beberapa puisi yang sangat menarik untuk dikaji menggunakan analisis stilistika adalah puisi karya Soekamto. Karya Soekamto yang akan dikaji adalah tiga buah puisi yang dimuat di dalam kumpulan puisi kompas, yaitu Lembar Kehidupan (2005), Suatu Saat Kita Susun Cerita Bersama (2007), dan Cerita Menjelang Malam (2008). Ketiga puisi tersebut menarik untuk dikaji karena banyak menggunakan gaya bahasa dan pengulangan kata yang tidak lazim digunakan dalam bahasa baku (penyimpangan bahasa).
II.BIOGRAFI SOEKAMTO
Soekamto adalah seorang Pegawai Negeri Sipil lulusan Fakultas Hukum UNTAG 1945, sekarang bekerja di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Semarang. Ia dilahirkan di Semarang pada tanggal 3 Nopember 1965. Mulai aktif menulis sejak lulus SMP, dan setelah bersahabat dengan Handry TM dan Agus Maladi Irianto semangant kepenulisannya semakin terpacu. Pada masa kepengurusan Keluarga Penulis Semarang (KPS) dipimpin oleh Handry TM (1990-an), Soekamto aktif memegang devisi panggung sastra yang secara rutin mengadakan kegiatan bulanan di TBRS.
Karya-karyanya pernah dimuat di Harian Suara Merdeka, Wawasan, Kartia (alm.), Bahari, dan lain-lain. Puisi-puisinya juga mewarnai beberapa antologi puisi penyair Jawa Tengah (1991), Antologi Puisi Semarang “Lawang Sewu” (1995), Antologi Puisi Penyair Semarang dalam acara Festival Semarang (1996), Kumpulan puisi penyair Jawa Tengah (Jentera Terkasa) dalam rangka “Pasar Puisi” Taman Budaya Jawa Tengah (1998). “Langit Semarang” diterbitkan Taman Budaya Jawa Tengah bersama lima penyair Semarang, diantaranya Timur Sinar Suprabana, Handry TM, dan Beno Siang Pamungkas (2008), dan membukukan sajak-sajaknya dalam Kumpulan Sajak “Bulan Pecah” (2008).
Saat ini, Soekamto menjabat sebagai Sekretaris Umum Dewan Kesenian Semarang (dekase) periode 2008-2012.
III.PUISI
a.Lembar kehidupan
matahari menggeliat dan terjaga dari tidurnya
warna merah jingga menghias angkasa
aku pun tafakur dalam sujud
memohon ridlo-NYA melangkahkan kaki
menapaki tanah terjal bebatuan
luaslapangnya padang pasir
luasdalamnya lautan biru
dan tinggi tak berbatasnya angkasa raya
yang terlintas dibuku – buku pelajaran
lembar demi lembar
kuejabaca kata demi kata rangkaian kalimat
di lembaran tanah terjal bebatuanmu
kutemu pepohonan, tanah merah yang menyatu dikesuburanmu
di lembaran luaslapangnya padang pasir
kutemu jutaan butiran pasir membara
di lembaran luasdalamnya lautan birumu
kutemu air, ikan dan pepohon laut
di lembaran tinggi tak berbatasnya angkasa rayamu
kutemu angin, mendung, matahari, bulan, bintang
dan burung burung beterbangan
membuka lembaran demi lembaran
kehidupan banyak rintangperintang membolamata
menghadang
aku terus melaju
membuka lembaran buku – buku pelajaran
hingga habis kutelanbaca
karena aku ingin sampai di garis cakrawala
Semarang, 120405
b.Suatu saat kita susun cerita bersama
: bapak Soekiswanto
Tanpa terasa empat kalender terlampaui
disaat semilir angin merekaterat
uliran tali dan persenyawaan
dua warna yang berbeda
matahari pun perlahan terus melangkah
kembali ke peraduaanya
esok
hari dan tanggal pun tenggelamkan
empat puluh delapan purnama
batas garis birokrasi
kau lenyap samarkan
bulan pun ringan melenggang
mengutuhbulatkan lingkarannya dari gerhana
esok
hari dan tanggal pun bertambah
tanpa terasa empat kalender
telah habis tertelanbaca
diawalnya pertemuan
perpisahan pun mengakhiri cerita
sesungguhnya rentang waktu
yang terlewatkan terlalu belia
tapi ini bukanlah akhir dari cerita kita
dalam menelusur jalan matahari
karena masih banyak cerita
yang musti kita susun bersama
tanpa terasa empat kalender
telah kita lalui bersama
diakhir cerita ini
tak ada kata lain
kecuali maaf
dan biarkan matahari terus melangkah
kembali keperaduannya
karena esok
masih banyak yang harus kita perjuangkan
meski ditempat yang berbeda
dan suatu saat kita akan menyusun cerita bersama
Semarang 24072007
c.Cerita menjelang malam
: almarhum muhadi
Menjelang malam
dijalanan beraspal kau terobos semilirnya angin
wajahmu pucatpasi tanpa sinar matahari
gerimis menabuh kesunyian
dedaunan pun berguguran
berserakan dibahu jalan raya
sesungguhnya kau ingin berbagi cerita
pada anak istrimu yang terluka
pada orang orang yang mengelilingimu
di pembaringan
dengan mata sayu dan mulut kaku
engkau tetap diam dalam kebekuan
kecuali tak lebih untuk berontak
membelah langit sap tujuh
yang berselimut kabut
dan mendung
di antara rasa sakit yang terus deraan tubuhmu
hujanpun berteriak keras
menenggelamkan gerimismu
yang menghilang dibalik malam
mencekam
esok
ketika matahari hampir di atas kepala
kau ternyata sudah jauh meninggalkan kita semua
kau pun tersenyum sembari melambaikan tangan
dan menghilang dibalik megamega.
Semarang, 2008
IV.ANALISIS STILISTIKA
Penelitian stilistika menaruh perhatian pada penggunaan bahasa dalam karya sastra. Persoalan yang menjadi fokus perhatian stilistika adalah pemakaian bahasa yang menyimpang dari bahasa sehari-hari, atau disebut bahasa khas dalam wacana sastra. Penyimpangan penggunaan bahasa bisa berupa penyimpangan terhaap kaidah bahasa, banyaknya pemakaian bahasa daerah, dan pemakaian bahasa asing atau unsur-unsur asing. Penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan tersebut diduga dilakukan untuk tujuan tertentu.
Pusat perhatian stilistika adalah penggunaan bahasa (gaya bahasa) secara literer dan sehari-hari. Sebagai stylist, seseorang harus mampu menguasai norma bahasa pada masa yang sama dengan bahasa yang dipakai dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa juga diarahkan oleh bentuk karya sastra yang ingin dihasilkan. Misalnya, gaya penataan puisi berbeda dengan gaya penataan bentuk prosa fiksi. Dalam puisi, salah satu kemampuan yang dimiliki penyair adalah penggunaan bunyi dalam karya sastra yang terjadi antara bunyi vokal dan konsonan.
Paduan bunyi-bunyi tersebut dinamakan asonansi, aliterasi, dan rima. Asonansi adalah paduan bunyi vokal antara kata-kata dalam satuan larik. Aliterasi adalah paduan bunyi konsonan antara kata-kata dalam satuan larik. Sedangkan rima merupakan paduan bunyi konsonan yang sama, tetapi diawali oleh bunyi vokal yang sama pada akhir larik yang berbeda.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis besar puisi-puisi karya Soekamto tidak memiliki bunyi (rima) yang teratur. Gaya bahasanya bebas, tidak seperti puisi lama yang sangat memperhatikan rima dan jumlah baris. Akan tetapi, dalam puisi-puisi Soekamto masih terdapat beberapa asonansi dan aliterasi bahkan ada beberapa yang memiliki rima yang sama. Hal ini tidak diketahui apakah Soekamto menggunakannya secara sengaja ataukah tidak sengaja. Karena karya-karyanya lebih menonjolkan gaya bahasa kias yang sangat kental.
Asonansi pada puisi Lembar Kehidupan karya Soekamto terdapat pada kata ‘terjaga’ dan ‘tidurnya’; ‘angakasa’ dan ‘raya’. Kata-kata tersebut mengandung asonansi [a]. Asonansi [u] terdapat pada kata ‘menyatu’ dan ‘dikesuburanmu’. Sedangkan aliterasi [n] terdapat pada kata ‘lembaran’ dan ‘pelajaran’ serta pada kata ‘lembaran’ dan ‘demi lembaran’. Di samping itu terdapat rima [mu] pada kata ‘bebatuanmu’(bait 2 baris 3) dan ‘dikesuburanmu’ (bait 2 baris 4).
Pada puisi Suatu Saat Kita Susun Cerita Bersama terdapat asonansi [a] yaitu pada kata-kata ‘warna’ dan ‘berbeda’; ‘tanpa’ dan ‘terasa’; ‘kita’ dan ‘bersama’. Sedangkan pada puisi Cerita Menjelang Malam terdapat asonansi [i] pada kata ‘pucatpasi’ dan ‘matahari’; asonansi [u] pada kata ‘sayu’ dan ‘kaku’; serta asonansi [a] pada kata ‘kita’ dan ‘semua’. Di samping itu juga terdapat aliterasi [n] pada larik ‘dedaunan pun berserakan’; dan rima [am] pada kata ‘malam’ (bait3 baris 4) dan ‘mencekam’ (bait 3 baris 5).
Di samping asonansi dan aliterasi, puisi-puisi karya Soekamto memiliki ciri khas yaitu adanya ‘bentuk ulang’. Bentuk ulang menurut Pradopo (1993: 108) merupakan gabungan kata yang berupa pengulangan kata yang dapat memberikan efek peyangatan atau melebih-lebihkan.
Bentuk ulang itu hampir terdapat pada semua puisinya. Pada puisi Lembar Kehidupan terdapat dua bentuk ulang yaitu ‘buku-buku’ dan ‘burung burung’. Sedanngkan pada puisi Cerita Menjelang Malam terdapat bentuk ulang ‘megamega’.
Bentuk ulang tersebut digunakan oleh penyair untuk menekankan arti atau memberikan efek yang mantap. Selain bentuk ulang, penekanan arti juga diberikan dengan cara menggabungkan dua kata yang seharusnya dipisah. Penggabungan ini sungguh unik, karena tidak banyak puisi dari penyair lain yang menggunakan bentuk seperti ini. Seperti, luaslapangnya, luasdalamnya, kuejabaca, rintagperintang, membolamata, kutelanbaca, pucatpasi, megamega, merekaterat, dan tertelanbaca.
Gabungan kata-kata tersebut dimaksudkan untuk menekankan bahwa makna pada kata-kata yang digabungkan memiliki nilai yang lebih dibandingkan dengan kata lainnya. Di samping itu, penggabungan biasanya digunakan untuk memberikan efek membesar-besarkan atau memperjelas makna. Sedangkan untuk memberikan efek keindahan, Soekamto menggunakan berbagai macam gaya bahasa dan bahasa kias.
Dalam buku Pengkajian Puisi karangan Dr. Rahmat Djoko Pradopo, dijelaskan cara menyampaikan pikiran atau perasaan ataupun maksud-maksud lain melalui gaya bahasa. Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu di dalam hati pembaca. Gaya bahasa meliputi, tautologi, pleonasme, enumerasi, paralelisme, retorik retiense, hiperbola, paradoks, dan kiasmus.
Pada ketiga puisi karya Soekamto hanya ditemukan dua gaya bahasa yaitu paralelisme dan hiperbola.
(1)Paralelisme
Paralelisme atau pensejajaran yaitu gaya bahasa yang mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului.
a.Pada puisi Lembar Kehidupan (bait ke-2 baris ke-3-10) :
..................
di lembaran tanah terjal bebatuanmu
kutemu pepohonan, tanah merah yang menyatu dikesuburanmu
di lembaran luaslapangnya padang pasir
kutemu jutaan butiran pasir membara
di lembaran luasdalamnya lautan birumu
kutemu air, ikan dan pepohon laut
di lembaran tinggi tak berbatasnya angkasa rayamu
kutemu angin, mendung, matahari, bulan, bintang
...................
b.Pada Puisi Cerita Menjelang Malam (bait ke-2 baris ke-3 dan 4) dan (bait ke-4 baris ke-3 dan 4):
....................
pada anak istrimu yang terluka
pada orang orang yang mengelilingimu
....................
.....................
kau ternyata sudah jauh meninggalkan kita semua
kau pun tersenyum sembari melambaikan tangan
.....................
(2)Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Gaya bahasa hiperbola hanya ditemukan pada puisi Cerita Menjelang Malam bait ke-2 baris ke-8 dan bait ke-4 baris ke-2:
..........................
membelah langit sap tujuh
..........................
..........................
hujan pun berteriak keras
........................
Di samping gaya bahasa, pada ketiga puisi karya Soekamto juga ditemukan bahasa kias yaitu personifikasi dan metafora.
(1)Personifikasi
Personifikasi yaitu bahasa kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi ditemukan pada ketiga puisi tersebut.
a.Pada puisi Lembar Kehidupan ditemukan satu bahasa kias personifikasi, yaitu pada bait ke-1 baris ke-1:
matahari menggeliat dan terjaga dari tidurnya
.....................
b.Pada puisi Suatu Saat Kita Susun Cerita Bersama ada empat bahasa kias personifikasi, yaitu:
Bait ke-3 baris ke-1:
matahari pun perlahan terus melangkah
Bait ke-4 baris ke-6:
bulan pun ringan melenggang
Bait ke-7 baris ke-3 dan 4:
sesungguhnya rentang waktu
yang terlewatkan terlalu belia
Bait ke-8 baris ke-6:
dan biarkan matahari terus melangkah
c.Pada puisi Cerita Menjelang Malam terdapat satu bahasa kias personifikasi, yaitu pada bait ke-1 baris ke-4:
.................
gerimis menabuh kesunyian
.................
(2)Metafora
Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti, dan sebagainya. Bahasa kiasan metafora terdapat di ketiga puisi karya Soekamto.
a.Pada puisi Lembar Kehidupan terdapat pada bait terakhir baris terakhir.
..................
karena aku ingin sampai di garis cakrawala
b.Pada puisi Suatu Saat Kita Susun Cerita Bersama terdapat pada bait ke-6 baris ke-6:
....................
dalam menelusur jalan matahari
.....................
c.Pada puisi Cerita Menjelang Malam terdapat pada bait pertama baris ke-6:
....................
berserakan di bahu jalan raya
V.SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tiga puisi karangan Soekamto, secara garis besar tidak memiliki bunyi (rima) yang teratur. Gaya bahasanya bebas, tidak seperti puisi lama yang sangat memperhatikan rima dan jumlah baris. Akan tetapi, dalam puisi-puisi Soekamto masih terdapat beberapa asonansi dan aliterasi bahkan ada beberapa yang memiliki rima yang sama.
Di samping itu, puisi-puisi Soekamto juga mengandung gaya bahasa dan bahasa kiasan yang digunakan untuk menambah nilai rasa. Gaya bahasa yang digunakannya antara lain paralelisme dan hiperbola, sedangkan bahasa kiasan yang digunakan adalah personifikasi dan metafora.
VI.DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, Rahmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soekamto. 2009. Kumpulan Puisi Kompas. (online)(http://kompas.com diakses 1 April 2009 pukul 01:12 WIB)
Supriyanto, Teguh. 2009. Stilistika dalam Prosa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Label:
Bahasa dan Sastra,
Sastra
Kajian Stilistika Terhadap Cerpen "Gerhana Mata" Karya Djenar Maesa Ayu
Abstrak : Cerita pendek atau cerpen merupakan salah satu karya sastra yang habis dibaca sekali duduk. Menurut Soeharianto (1982: 39), cerpen adalah wadah yang biasanya dipakai oleh pengarang untuk menyuguhkan sebagian kecil saja dari kehidupan tokoh yang paling menarik perhatian pengarang. Salah satu cerpen yang sangat menarik untuk dikaji menggunakan analisis stilistika adalah cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu. Cerpen ini menarik untuk dikaji karena mengandung banyak majas (gaya bahasa) dan bahasa kiasan. Cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu mengandung gaya bahasa dan bahasa kiasan yang terdiri dari paralelisme, paradoks, hiperbola, personifikasi, metafora, dan simile. Gaya bahasa dan bahasa kiasan tersebut berfungsi memberikan efek estetis atau keindahan. Selain itu, dalam cerpen karya Djenar tersebut ditemukan persamaan rima. Hal ini menjadikan karya Djenar menjadi lebih hidup dan berbeda degan karya lainnya.
Kata Kunci : Cerita Pendek, Gaya Bahasa, Bahasa Kiasan.
I.LATAR BELAKANG
Cerita pendek atau cerpen merupakan salah satu karya sastra yang habis dibaca sekali duduk. Menurut Soeharianto (1982: 39), cerpen adalah wadah yang biasanya dipakai oleh pengarang untuk menyuguhkan sebagian kecil saja dari kehidupan tokoh yang paling menarik perhatian pengarang.
Menurut Soeharianto (1982) cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita tersebut atau sedikit tokoh yang terdapat di dalam cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk karya sastra itu. Jadi jenis cerita yang pendek belum tentu dapat digolongkan menjadi cerita pendek, jika ruang lingkup permasalahannya tidak memenuhi persyaratan sebagai cerpen.
Media yang digunakan oleh cerpen untuk menyampaikan pikiran pengarang adalah bahasa. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian atau konvensi dari masyarakat. Bahasa yang digunakan di dalam karya sastra cenderung menyimpang dari kaidah kebahasaan, bahkan menggunakan bahasa yang dianggap aneh atau khas. Penyimpangan penggunaan bahasa dalam karya sastra, menurut Riffaterre (dalam Supriyanto, 2009: 2) disebabkan oleh tiga hal yaitu displacing of meaning (pengganitan arti), dan creating of meaning (perusakan atau penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti).
Oleh karena banyak penyimpangan arti di dalam karya sastra, maka pengamatan atau pengkajian terhadap karya sastra (cerpen) khususnya dilihat dari gaya bahasanya sering dilakukan. Pengamatan terhadap karya sastra (cerpen) melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan dengan pengalaman bahasanya disebut sebagai analisis stilistika.
Salah satu cerpen yang sangat menarik untuk dikaji menggunakan analisis stilistika adalah cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu. Cerpen ini menarik untuk dikaji karena mengandung banyak majas (gaya bahasa) dan bahasa kiasan.
II.BIOGRAFI PENGARANG
Gerhana Mata merupakan buku yang ditulis oleh Djenar Maesa Ayu. Djenar biasa dipanggil Nai. Ia lahir di Jakarta, 10 Januari 1970. Djenar lahir dari keluarga seni. Kedua orangtuanya adalah tokoh perfilman Indonesia. Ayahnya adalah Sjumanjaya seorang sutradara terkemuka dan ibunya, Toeti Kirana aktris era 70-an yang terkenal. Dari beberapa penulis perempuan di Indonesia saat ini, nama Djenar Maesa Ayu sangat menonjol.
Pada awalnya Djenar menulis cerita pendek (cerpen), kemudian berpindah ke novel. Namanya semakin terkenal ketika ia melebarkan sayap ke dunia televisi dan layar lebar. Sekarang, ia telah menjadi sutradara lewat film yang diangkat dari karya cerpennya sendiri, “Mereka Bilang, Saya Monyet!”
Karya-karya Djenar Maesa Ayu:
a.Kumpulan Cerpen
1)Mereka Bilang, Saya Monyet!; kumpulan cerpen (2002)
2)Jangan Main-main dengan Kelaminmu; kumpulan cerpen (2003)
3)Cerita Pendek tentang Cerita yang Pendek; kumpulan cerpen (2006)
4)Naila; Novel(2005)
b.Novel
1)Ranjang; novel (segera terbit 2010)
c.Film
1)Mereka Bilang, saya monyet!
d.Televisi
1)Fenomena (TranTv, 2006)
2)Silat Lidah (Antv, 2007)
III.CERPEN
GERHANA MATA
Malam selalu memberi ketenangan. Banyak kenangan yang begitu mudah dikais dalam ruang-ruang kegelapan. Kenangan yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-ngacungkan telunjuknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir, di atas pembaringan tanpa kekasih yang tak akan hadir.
Banyak orang yang begitu takut pada malam. Pada gelap. Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba. Membuat jantung mereka berdegup lebih kencang. Membuat mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidak-tenangan itu dengan harga listrik walaupun harganya semakin tinggi menjulang.
Tapi saya selalu merasa malam memberi ketenangan. Semakin gelap semakin ramai. Hampir menyerupai pasar malam yang ingar bingar namun tanpa penerangan. Sehingga saya tak pernah merasa ketakutan. Tak pernah merasa tak tenang. Sepanjang mata memandang, hanyalah kegelapan. Tubuh kelihatan amat samar. Namun, suara-suara begitu jelas terdengar. Begitu dekat. Sedemikian dekat sehingga aroma napas si empunya suara itu di hidung terasa melekat. Mata saya mulai merapat, semakin gelap, semakin semuanya akhirnya begitu terang terlihat.
Mungkin karena itulah saya begitu membutuhkan cinta. Seperti malam. Seperti gelap. Cinta pun membutakan. Saya tidak butuh kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala. Saya tidak perlu menutup semua tirai dan pintu serta menyumbat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna. Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya.
Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang menamakannya cinta buta. Apa pun namanya saya tidak peduli. Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang ingin saya lihat. Dan hanya ialah yang saya ingin lihat, sang kekasih bak lentera benderang dalam kegulitaan pandangan mata saya. Dari sinarnyalah saya mendapatkan siang yang kami habiskan di ranjang-ranjang pondok penginapan. Saling menatap seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bertatapan. Saling menyentuh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bersentuhan. Dan melenguh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling mengeluarkan lenguhan.
Di saat-saat seperti itu, di kebutaan seperti itu, saya tak perlu meraba-raba. Tak pernah ada waktu untuk berpikir apa yang akan terjadi di hari esok. Apakah benar masih ada hari esok. Atau apakah masih perlu akan hari esok. Walaupun tidak jarang kebutaan yang memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia, seperti suara-suara ponsel yang berdering tak henti-hentinya, namun dengan seketika gerhana mata bekerja. Suara-suara ponsel yang mengganggu itu berubah menjadi suara lagu. Lembut mendayu-dayu. Tak saya sadari lagi ketika tubuhnya pelan-pelan memisah dan menjauh. Tak terdengar suaranya yang sengaja dibuat lirih ketika menjawab panggilan telepon dan mengatakan kalau ia sedang tidak ingin diganggu dengan alasan penyakit lambungnya tengah kambuh. Saya tetap merasakan tubuhnya melekat. Saya tetap mendengar suaranya melantunkan senandung yang membuat saya merasa itulah saat terindah untuk sekarat. Saya masih melihat matanya sedang menatap. Mata yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini yang berarti kecuali saya. Tidak ada apa pun di dunia ini yang lebih penting dari saya. Mata saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana. Semakin kabur. Semakin dalam ke muara cinta tubuh ini tercebur.
Kami hanya bertemu kala siang. Kala api rindu sudah semalaman memanggang. Kala segala garis maupun lekukan amat nyata terlihat dengan mata telanjang. Segala garis maupun lekukan itu selalu diikuti bayang-bayang. Dan dalam bayang-bayang itulah kami betemu dan bersatu. Di sanalah kami saling menjamu keinginan antara satu dengan yang satu.
Banyak yang mempertanyakan. Kenapa saya bertemu hanya kala siang? Kenapa tidak pagi atau malam? Karena buta, saya bilang. Dalam kebutaan saya bisa mengadakan apa pun yang saya inginkan. Tak terkecuali pagi. Tak terkecuali malam.
Banyak yang tambah mempertanyakan. Kenapa harus buta? Kenapa tidak menggunakan mata asli demi melihat pagi asli atau malam asli. Kenapa harus menciptakan buta yang tak asli? Karena cinta, saya bilang. Dalam cinta saya bisa merasakan segala sesuatunya asli, walaupun di kala pagi dan malam yang tak asli.
Terus terang, saya tidak pernah dapat memastikan apakah pertanyaan-pertanyaan itu asli. Kadang saya merasa pertanyaan-pertanyaan itu tidak datang dari orang-orang, melainkan datang dari diri saya sendiri. Sehingga saya pun tak dapat memastikan apakah jawaban saya asli. Karena tidak mungkin sesuatu yang asli lahir dari yang tak asli.
Namun lagi-lagi perasaan ini terasa asli. Walaupun kami hanya bertemu kala siang, atau kala pagi dan malam yang tak asli. Kalimat di bungkus kondom “ASLI, SERATUS PERSEN ANTI BOCOR” yang kami robek sebelum bercinta pun asli. Hangat kulitnya yang tak berjarak. Gerakan tubuhnya yang sebentar menarik sebentar menghentak. Bunyi ranjang berderak. Jantung keras berdetak. Suara yang semakin lama semakin serak, adalah asli. Membuat saya selalu merasa tak pernah cukup dan ingin mengulanginya kembali.
Saya tahu, saya akan bisa mengulanginya lagi. Tapi dengan satu konsekuensi. Harus mengerti statusnya sebagai laki-laki beristri. Bertemu kala siang, bukan kala pagi atau malam hari. Kala siang dengan durasi waktu yang amat sempit. Bukan kala pagi atau malam hari yang terasa amat panjang dalam penantian dan rindu yang mengimpit. Membuat saya kerap merasa terjepit. Antara lelah dan lelah. Antara pasrah dan pasrah. Saya terjebak dan berputar-putar pada dua pilihan yang sama. Saya jatuh cinta.
Andai saja saya bisa mendepak cinta dan menghadirkan logika, mungkin tak akan seperti ini saya tak berdaya. Mungkin suara-suara yang kerap menghantui dengan pertanyaan dan jawaban akan lain bunyinya. Mungkin malam akan membuat saya takut. Dan dengan tubuh lain ke dalam selimut saya akan beringsut. Juga tak akan ada siang di mana saya meradang dan menggelepar atas tubuh yang menyentuh di atas seprai kusut lantas terhenti oleh dering panggilan ponsel yang membuat satu-satunya fungsi pada tubuhnya yang mempersatukan tubuh kami jadi menciut.
Mungkin…
Mungkin satu saat nanti ia akan mengalami gerhana mata seperti saya. Dan kami bisa tinggal dalam satu dunia yang sama. Tak bertemu hanya kala siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa hanya bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta membutakan saya. Diganti dengan jawaban, karena cinta telah membutakan kami berdua.
Mungkin…
Enam tahun sudah waktu bergulir. Sejak kemarin, di jari manis kanan saya telah melingkar cincin dengan namanya terukir. Dalam kegelapan malam kedua mata ini menumpahkan air. Di atas pembaringan tanpa suami yang tetap tak akan hadir.
IV.PEMBAHASAN
Penelitian stilistika menaruh perhatian pada penggunaan bahasa dalam karya sastra. Persoalan yang menjadi fokus perhatian stilistika adalah pemakaian bahasa yang menyimpang dari bahasa sehari-hari, atau disebut bahasa khas dalam wacana sastra. Penyimpangan penggunaan bahasa bisa berupa penyimpangan terhaap kaidah bahasa, banyaknya pemakaian bahasa daerah, dan pemakaian bahasa asing atau unsur-unsur asing. Penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan tersebut diduga dilakukan untuk tujuan tertentu.
Pusat perhatian stilistika adalah penggunaan bahasa (gaya bahasa) secara literer dan sehari-hari. Sebagai stylist, seseorang harus mampu menguasai norma bahasa pada masa yang sama dengan bahasa yang dipakai dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa juga diarahkan oleh bentuk karya sastra yang ingin dihasilkan. Misalnya, gaya penataan prosa fiksi (cerpen) berbeda dengan gaya penataan bentuk puisi. Dalam cerpen, selain fokus dalam alur cerita, penulis dapat menggunakan gaya bahasa dan bahasa kiasan agar cerpen yang dihasilkan lebih hidup dan menarik pembaca.
Salah satu cerpen yang sarat dengan gaya bahasa dan bahasa kiasan adalah Cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu. Hampir semua barisnya menggunakan kata kiasan sehingga pembaca diajak untuk menikmati kalimat demi kalimat, bukan hanya menikmati alur ceritanya saja. Gaya bahasa dan bahasa kiasan yang terdapat di dalam cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu antara lain Paralelisme, paradoks, hiperbola, simile, metafora, dan personifikasi.
a.Gaya Bahasa
(1)Paralelisme
Paralelisme merupakan gaya bahasa yang mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Gaya bahasa paralelisme yang terkandung di dalam cerpen Gerhana Mata antara lain:
Paragraf ke-2
..... . Membuat mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidaktenangan itu dengan harga listrik .... .
Paragraf ke-5
.... . Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang saya lihat. ....
Paragraf ke-6
.... Saya tetap merasakan tubuhnya melekat. Saya tetap mendengar suranya melantunkan senandung ....
..... Semakin kabur. Semakin dalam ke muara cinta tubuh ini tercebur.
Paragraf ke-13
.... . Mungkin suara-suara yang kerap menghantui dengan pertanyaan dan jawaban akan lain bunyinya. Mungkin malam akan membuat saya takut. ...
Paragraf ke-15
..... Tak bertemu hanya kala siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa hanya bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta membutakan saya. ....
Pada cerpen karya Djenar tersebut ditemukan empat gaya bahasa paralelisme. Gaya bahasa ini biasanya digunakan penulis sebagai penekanan makna, bahwa si tokoh benar-benar merasakan pengalaman hal itu lebih dari pengalaman yang lainnya.
(2)Paradoks
Paradoks adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebenarnya tidak apabila dicermati dan dipikir dengan sungguh-sungguh.
Paragraf ke-3
Hampir menyerupai pasar yang ingar bingar namun tanpa penerangan.
Paragraf ke-6
Saya tetap mendengar suaranya melantunkan senandung yang membuat saya merasa itulah saat terindah untuk sekarat.
(3)Hiperbola
Hiperbola merupakan gaya bahasa yang melebih-lebihkan suatu hal. Pada cerpen Gerhana Mata juga ditemukan beberapa gaya bahasa hiperbola.
Paragraf ke-4
Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya.
Paragraf ke-6
Mata saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana.
b.Bahasa Kiasan
Di samping gaya bahasa, Djenar Maesa Ayu juga menggunakan bahasa kiasan untuk menekankan makna dan mempertahankan unsur estetis. Bahasa kiasan yang terdapat pada cerpen tersebutada beberapa bahasa kiasan di antaranya:
(1)Simile
Simile adalah basa kiasan yang mennyamakan satu hal dengan hal lain dengan kata-kata pembanding. Bahasa kiasan Simile terdapat pada:
Paragraf ke-2
Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba.
Paragraf ke-6
.... suara-suara dari luar dunia, seperti suara ponsel yang berdering tak henti-hgentinya......
Mata yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini selain saya.
(2)Metafora
Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding. Bahasa kiasan metafora yang terdapat pada cerpen Gerhana Mata antara lain:
Paragraf ke-4
Saya tidak membutuhkan kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala.
Paragraf ke-5
Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata.
Paragraf ke-6
Walaupun tidak jarang kebutaan yang memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia.
Paragraf ke-7
Kala api rindu, sudah semalaman memanggang.
(3)Personifikasi
Personifikasi merupakan bahasa kiasan yang mempersamakan benda mati dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Bahasa Kiasan Personifikasi dalam cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu terdapat pada:
Paragraf ke-1
.... Kenangan yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-acungkan telunjukknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir .... .
Paragraf ke-4
.... Saya tidak perlu menutup semua pintu dan tirai dan pintu serta membuat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam membuat cerpen, Djenar Maesa Ayu sangat memperhatikan nilai estetisnya sehingga banyak ditemukan gaya bahasa dan bahasa kiasan. Selain itu, dalam cerpen karya Djenar tersebut juga ditemukan beberapa rima yang sama. Hal ini membuat karya Djenar berbeda dengan cerpen lainnya. Karena biasanya rima ditemukan dalam karya yang bergenre puisi. Persamaan rima itu ditemukan di dua paragraf yang berbeda, yaitu:
Paragraf ke-6
.... Semakin kabur. Semakin dalam muara cinta ini tercebur.
Paragraf ke-12
.... Kala siang dengan durasi waktu yang sangat sempit. Bukan kala pagi atau malam hari yang terasa amat panjang dalam pennantian dan rindu yang menghimpit. Membuat saya merasa sangat terjepit.
Dari kedua contoh di atas, dapat dilihat bahwa rima yang sama adalah rima [ur] dan [pit]. Kedua pengulangan rima ini biasanya digunakan oleh pengarang untuk mempertegas arti dan menjelasan suasana secara jelas. Di samping itu penggunaan rima yang sama dapat memberikan efek keindahan, sehingga menjadikan cerpen Gerhana Mata berbeda dari cerpen-cerpen yang lain.
V.SIMPULAN
Cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu mengandung gaya bahasa dan bahasa kiasan yang terdiri dari paralelisme, paradoks, hiperbola, personifikasi, metafora, dan simile. Gaya bahasa dan bahasa kiasan tersebut berfungsi memberikan efek estetis atau keindahan. Selain itu, dalam cerpen karya Djenar tersebut ditemukan persamaan rima. Hal ini menjadikan karya Djenar menjadi lebih hidup dan berbeda degan karya lainnya.
VI.DAFTAR PUSTAKA
Ayu, Djenar Maesa. 2007. Gerhana Mata. (online)(http://cerpenkompas.wordpress.comdi akses 20 Mei 2007 pukul 14:17).
Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.
Supriyanto, Teguh. 2009. Stilistika dalam Prosa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Kata Kunci : Cerita Pendek, Gaya Bahasa, Bahasa Kiasan.
I.LATAR BELAKANG
Cerita pendek atau cerpen merupakan salah satu karya sastra yang habis dibaca sekali duduk. Menurut Soeharianto (1982: 39), cerpen adalah wadah yang biasanya dipakai oleh pengarang untuk menyuguhkan sebagian kecil saja dari kehidupan tokoh yang paling menarik perhatian pengarang.
Menurut Soeharianto (1982) cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita tersebut atau sedikit tokoh yang terdapat di dalam cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk karya sastra itu. Jadi jenis cerita yang pendek belum tentu dapat digolongkan menjadi cerita pendek, jika ruang lingkup permasalahannya tidak memenuhi persyaratan sebagai cerpen.
Media yang digunakan oleh cerpen untuk menyampaikan pikiran pengarang adalah bahasa. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian atau konvensi dari masyarakat. Bahasa yang digunakan di dalam karya sastra cenderung menyimpang dari kaidah kebahasaan, bahkan menggunakan bahasa yang dianggap aneh atau khas. Penyimpangan penggunaan bahasa dalam karya sastra, menurut Riffaterre (dalam Supriyanto, 2009: 2) disebabkan oleh tiga hal yaitu displacing of meaning (pengganitan arti), dan creating of meaning (perusakan atau penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti).
Oleh karena banyak penyimpangan arti di dalam karya sastra, maka pengamatan atau pengkajian terhadap karya sastra (cerpen) khususnya dilihat dari gaya bahasanya sering dilakukan. Pengamatan terhadap karya sastra (cerpen) melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan dengan pengalaman bahasanya disebut sebagai analisis stilistika.
Salah satu cerpen yang sangat menarik untuk dikaji menggunakan analisis stilistika adalah cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu. Cerpen ini menarik untuk dikaji karena mengandung banyak majas (gaya bahasa) dan bahasa kiasan.
II.BIOGRAFI PENGARANG
Gerhana Mata merupakan buku yang ditulis oleh Djenar Maesa Ayu. Djenar biasa dipanggil Nai. Ia lahir di Jakarta, 10 Januari 1970. Djenar lahir dari keluarga seni. Kedua orangtuanya adalah tokoh perfilman Indonesia. Ayahnya adalah Sjumanjaya seorang sutradara terkemuka dan ibunya, Toeti Kirana aktris era 70-an yang terkenal. Dari beberapa penulis perempuan di Indonesia saat ini, nama Djenar Maesa Ayu sangat menonjol.
Pada awalnya Djenar menulis cerita pendek (cerpen), kemudian berpindah ke novel. Namanya semakin terkenal ketika ia melebarkan sayap ke dunia televisi dan layar lebar. Sekarang, ia telah menjadi sutradara lewat film yang diangkat dari karya cerpennya sendiri, “Mereka Bilang, Saya Monyet!”
Karya-karya Djenar Maesa Ayu:
a.Kumpulan Cerpen
1)Mereka Bilang, Saya Monyet!; kumpulan cerpen (2002)
2)Jangan Main-main dengan Kelaminmu; kumpulan cerpen (2003)
3)Cerita Pendek tentang Cerita yang Pendek; kumpulan cerpen (2006)
4)Naila; Novel(2005)
b.Novel
1)Ranjang; novel (segera terbit 2010)
c.Film
1)Mereka Bilang, saya monyet!
d.Televisi
1)Fenomena (TranTv, 2006)
2)Silat Lidah (Antv, 2007)
III.CERPEN
GERHANA MATA
Malam selalu memberi ketenangan. Banyak kenangan yang begitu mudah dikais dalam ruang-ruang kegelapan. Kenangan yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-ngacungkan telunjuknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir, di atas pembaringan tanpa kekasih yang tak akan hadir.
Banyak orang yang begitu takut pada malam. Pada gelap. Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba. Membuat jantung mereka berdegup lebih kencang. Membuat mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidak-tenangan itu dengan harga listrik walaupun harganya semakin tinggi menjulang.
Tapi saya selalu merasa malam memberi ketenangan. Semakin gelap semakin ramai. Hampir menyerupai pasar malam yang ingar bingar namun tanpa penerangan. Sehingga saya tak pernah merasa ketakutan. Tak pernah merasa tak tenang. Sepanjang mata memandang, hanyalah kegelapan. Tubuh kelihatan amat samar. Namun, suara-suara begitu jelas terdengar. Begitu dekat. Sedemikian dekat sehingga aroma napas si empunya suara itu di hidung terasa melekat. Mata saya mulai merapat, semakin gelap, semakin semuanya akhirnya begitu terang terlihat.
Mungkin karena itulah saya begitu membutuhkan cinta. Seperti malam. Seperti gelap. Cinta pun membutakan. Saya tidak butuh kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala. Saya tidak perlu menutup semua tirai dan pintu serta menyumbat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna. Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya.
Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang menamakannya cinta buta. Apa pun namanya saya tidak peduli. Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang ingin saya lihat. Dan hanya ialah yang saya ingin lihat, sang kekasih bak lentera benderang dalam kegulitaan pandangan mata saya. Dari sinarnyalah saya mendapatkan siang yang kami habiskan di ranjang-ranjang pondok penginapan. Saling menatap seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bertatapan. Saling menyentuh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bersentuhan. Dan melenguh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling mengeluarkan lenguhan.
Di saat-saat seperti itu, di kebutaan seperti itu, saya tak perlu meraba-raba. Tak pernah ada waktu untuk berpikir apa yang akan terjadi di hari esok. Apakah benar masih ada hari esok. Atau apakah masih perlu akan hari esok. Walaupun tidak jarang kebutaan yang memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia, seperti suara-suara ponsel yang berdering tak henti-hentinya, namun dengan seketika gerhana mata bekerja. Suara-suara ponsel yang mengganggu itu berubah menjadi suara lagu. Lembut mendayu-dayu. Tak saya sadari lagi ketika tubuhnya pelan-pelan memisah dan menjauh. Tak terdengar suaranya yang sengaja dibuat lirih ketika menjawab panggilan telepon dan mengatakan kalau ia sedang tidak ingin diganggu dengan alasan penyakit lambungnya tengah kambuh. Saya tetap merasakan tubuhnya melekat. Saya tetap mendengar suaranya melantunkan senandung yang membuat saya merasa itulah saat terindah untuk sekarat. Saya masih melihat matanya sedang menatap. Mata yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini yang berarti kecuali saya. Tidak ada apa pun di dunia ini yang lebih penting dari saya. Mata saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana. Semakin kabur. Semakin dalam ke muara cinta tubuh ini tercebur.
Kami hanya bertemu kala siang. Kala api rindu sudah semalaman memanggang. Kala segala garis maupun lekukan amat nyata terlihat dengan mata telanjang. Segala garis maupun lekukan itu selalu diikuti bayang-bayang. Dan dalam bayang-bayang itulah kami betemu dan bersatu. Di sanalah kami saling menjamu keinginan antara satu dengan yang satu.
Banyak yang mempertanyakan. Kenapa saya bertemu hanya kala siang? Kenapa tidak pagi atau malam? Karena buta, saya bilang. Dalam kebutaan saya bisa mengadakan apa pun yang saya inginkan. Tak terkecuali pagi. Tak terkecuali malam.
Banyak yang tambah mempertanyakan. Kenapa harus buta? Kenapa tidak menggunakan mata asli demi melihat pagi asli atau malam asli. Kenapa harus menciptakan buta yang tak asli? Karena cinta, saya bilang. Dalam cinta saya bisa merasakan segala sesuatunya asli, walaupun di kala pagi dan malam yang tak asli.
Terus terang, saya tidak pernah dapat memastikan apakah pertanyaan-pertanyaan itu asli. Kadang saya merasa pertanyaan-pertanyaan itu tidak datang dari orang-orang, melainkan datang dari diri saya sendiri. Sehingga saya pun tak dapat memastikan apakah jawaban saya asli. Karena tidak mungkin sesuatu yang asli lahir dari yang tak asli.
Namun lagi-lagi perasaan ini terasa asli. Walaupun kami hanya bertemu kala siang, atau kala pagi dan malam yang tak asli. Kalimat di bungkus kondom “ASLI, SERATUS PERSEN ANTI BOCOR” yang kami robek sebelum bercinta pun asli. Hangat kulitnya yang tak berjarak. Gerakan tubuhnya yang sebentar menarik sebentar menghentak. Bunyi ranjang berderak. Jantung keras berdetak. Suara yang semakin lama semakin serak, adalah asli. Membuat saya selalu merasa tak pernah cukup dan ingin mengulanginya kembali.
Saya tahu, saya akan bisa mengulanginya lagi. Tapi dengan satu konsekuensi. Harus mengerti statusnya sebagai laki-laki beristri. Bertemu kala siang, bukan kala pagi atau malam hari. Kala siang dengan durasi waktu yang amat sempit. Bukan kala pagi atau malam hari yang terasa amat panjang dalam penantian dan rindu yang mengimpit. Membuat saya kerap merasa terjepit. Antara lelah dan lelah. Antara pasrah dan pasrah. Saya terjebak dan berputar-putar pada dua pilihan yang sama. Saya jatuh cinta.
Andai saja saya bisa mendepak cinta dan menghadirkan logika, mungkin tak akan seperti ini saya tak berdaya. Mungkin suara-suara yang kerap menghantui dengan pertanyaan dan jawaban akan lain bunyinya. Mungkin malam akan membuat saya takut. Dan dengan tubuh lain ke dalam selimut saya akan beringsut. Juga tak akan ada siang di mana saya meradang dan menggelepar atas tubuh yang menyentuh di atas seprai kusut lantas terhenti oleh dering panggilan ponsel yang membuat satu-satunya fungsi pada tubuhnya yang mempersatukan tubuh kami jadi menciut.
Mungkin…
Mungkin satu saat nanti ia akan mengalami gerhana mata seperti saya. Dan kami bisa tinggal dalam satu dunia yang sama. Tak bertemu hanya kala siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa hanya bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta membutakan saya. Diganti dengan jawaban, karena cinta telah membutakan kami berdua.
Mungkin…
Enam tahun sudah waktu bergulir. Sejak kemarin, di jari manis kanan saya telah melingkar cincin dengan namanya terukir. Dalam kegelapan malam kedua mata ini menumpahkan air. Di atas pembaringan tanpa suami yang tetap tak akan hadir.
IV.PEMBAHASAN
Penelitian stilistika menaruh perhatian pada penggunaan bahasa dalam karya sastra. Persoalan yang menjadi fokus perhatian stilistika adalah pemakaian bahasa yang menyimpang dari bahasa sehari-hari, atau disebut bahasa khas dalam wacana sastra. Penyimpangan penggunaan bahasa bisa berupa penyimpangan terhaap kaidah bahasa, banyaknya pemakaian bahasa daerah, dan pemakaian bahasa asing atau unsur-unsur asing. Penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan tersebut diduga dilakukan untuk tujuan tertentu.
Pusat perhatian stilistika adalah penggunaan bahasa (gaya bahasa) secara literer dan sehari-hari. Sebagai stylist, seseorang harus mampu menguasai norma bahasa pada masa yang sama dengan bahasa yang dipakai dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa juga diarahkan oleh bentuk karya sastra yang ingin dihasilkan. Misalnya, gaya penataan prosa fiksi (cerpen) berbeda dengan gaya penataan bentuk puisi. Dalam cerpen, selain fokus dalam alur cerita, penulis dapat menggunakan gaya bahasa dan bahasa kiasan agar cerpen yang dihasilkan lebih hidup dan menarik pembaca.
Salah satu cerpen yang sarat dengan gaya bahasa dan bahasa kiasan adalah Cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu. Hampir semua barisnya menggunakan kata kiasan sehingga pembaca diajak untuk menikmati kalimat demi kalimat, bukan hanya menikmati alur ceritanya saja. Gaya bahasa dan bahasa kiasan yang terdapat di dalam cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu antara lain Paralelisme, paradoks, hiperbola, simile, metafora, dan personifikasi.
a.Gaya Bahasa
(1)Paralelisme
Paralelisme merupakan gaya bahasa yang mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Gaya bahasa paralelisme yang terkandung di dalam cerpen Gerhana Mata antara lain:
Paragraf ke-2
..... . Membuat mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidaktenangan itu dengan harga listrik .... .
Paragraf ke-5
.... . Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang saya lihat. ....
Paragraf ke-6
.... Saya tetap merasakan tubuhnya melekat. Saya tetap mendengar suranya melantunkan senandung ....
..... Semakin kabur. Semakin dalam ke muara cinta tubuh ini tercebur.
Paragraf ke-13
.... . Mungkin suara-suara yang kerap menghantui dengan pertanyaan dan jawaban akan lain bunyinya. Mungkin malam akan membuat saya takut. ...
Paragraf ke-15
..... Tak bertemu hanya kala siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa hanya bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta membutakan saya. ....
Pada cerpen karya Djenar tersebut ditemukan empat gaya bahasa paralelisme. Gaya bahasa ini biasanya digunakan penulis sebagai penekanan makna, bahwa si tokoh benar-benar merasakan pengalaman hal itu lebih dari pengalaman yang lainnya.
(2)Paradoks
Paradoks adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebenarnya tidak apabila dicermati dan dipikir dengan sungguh-sungguh.
Paragraf ke-3
Hampir menyerupai pasar yang ingar bingar namun tanpa penerangan.
Paragraf ke-6
Saya tetap mendengar suaranya melantunkan senandung yang membuat saya merasa itulah saat terindah untuk sekarat.
(3)Hiperbola
Hiperbola merupakan gaya bahasa yang melebih-lebihkan suatu hal. Pada cerpen Gerhana Mata juga ditemukan beberapa gaya bahasa hiperbola.
Paragraf ke-4
Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya.
Paragraf ke-6
Mata saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana.
b.Bahasa Kiasan
Di samping gaya bahasa, Djenar Maesa Ayu juga menggunakan bahasa kiasan untuk menekankan makna dan mempertahankan unsur estetis. Bahasa kiasan yang terdapat pada cerpen tersebutada beberapa bahasa kiasan di antaranya:
(1)Simile
Simile adalah basa kiasan yang mennyamakan satu hal dengan hal lain dengan kata-kata pembanding. Bahasa kiasan Simile terdapat pada:
Paragraf ke-2
Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba.
Paragraf ke-6
.... suara-suara dari luar dunia, seperti suara ponsel yang berdering tak henti-hgentinya......
Mata yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini selain saya.
(2)Metafora
Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding. Bahasa kiasan metafora yang terdapat pada cerpen Gerhana Mata antara lain:
Paragraf ke-4
Saya tidak membutuhkan kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala.
Paragraf ke-5
Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata.
Paragraf ke-6
Walaupun tidak jarang kebutaan yang memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia.
Paragraf ke-7
Kala api rindu, sudah semalaman memanggang.
(3)Personifikasi
Personifikasi merupakan bahasa kiasan yang mempersamakan benda mati dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Bahasa Kiasan Personifikasi dalam cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu terdapat pada:
Paragraf ke-1
.... Kenangan yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-acungkan telunjukknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir .... .
Paragraf ke-4
.... Saya tidak perlu menutup semua pintu dan tirai dan pintu serta membuat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam membuat cerpen, Djenar Maesa Ayu sangat memperhatikan nilai estetisnya sehingga banyak ditemukan gaya bahasa dan bahasa kiasan. Selain itu, dalam cerpen karya Djenar tersebut juga ditemukan beberapa rima yang sama. Hal ini membuat karya Djenar berbeda dengan cerpen lainnya. Karena biasanya rima ditemukan dalam karya yang bergenre puisi. Persamaan rima itu ditemukan di dua paragraf yang berbeda, yaitu:
Paragraf ke-6
.... Semakin kabur. Semakin dalam muara cinta ini tercebur.
Paragraf ke-12
.... Kala siang dengan durasi waktu yang sangat sempit. Bukan kala pagi atau malam hari yang terasa amat panjang dalam pennantian dan rindu yang menghimpit. Membuat saya merasa sangat terjepit.
Dari kedua contoh di atas, dapat dilihat bahwa rima yang sama adalah rima [ur] dan [pit]. Kedua pengulangan rima ini biasanya digunakan oleh pengarang untuk mempertegas arti dan menjelasan suasana secara jelas. Di samping itu penggunaan rima yang sama dapat memberikan efek keindahan, sehingga menjadikan cerpen Gerhana Mata berbeda dari cerpen-cerpen yang lain.
V.SIMPULAN
Cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu mengandung gaya bahasa dan bahasa kiasan yang terdiri dari paralelisme, paradoks, hiperbola, personifikasi, metafora, dan simile. Gaya bahasa dan bahasa kiasan tersebut berfungsi memberikan efek estetis atau keindahan. Selain itu, dalam cerpen karya Djenar tersebut ditemukan persamaan rima. Hal ini menjadikan karya Djenar menjadi lebih hidup dan berbeda degan karya lainnya.
VI.DAFTAR PUSTAKA
Ayu, Djenar Maesa. 2007. Gerhana Mata. (online)(http://cerpenkompas.wordpress.comdi akses 20 Mei 2007 pukul 14:17).
Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.
Supriyanto, Teguh. 2009. Stilistika dalam Prosa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Label:
Bahasa dan Sastra,
Sastra